![]() |
Ilustrasi kerinduan akan udara dan air kota yang sempat disinggahi. Sumber Gambar: Desain Pribadi by Canva |
Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Sebagai orang yang lahir di Kalimantan Timur, kami sering mendengar kalimat pepatah turun temurun yang ada di sekitar kami sejak jaman dahulu kala, yaitu "sekali kamu minum air Sungai Mahakam, maka suatu waktu pasti akan kembali ke tanah Kalimantan Timur".
Hal itu tentunya berlaku bagi semua orang, bukan hanya sang pemilik kampung halaman, melainkan juga bagi mereka yang kebetulan berkunjung atau mampir ke tanah kelahiran kami ini.
Sebenarnya 'air Sungai Mahakam' hanyalah istilah kami untuk air yang kami minum di sini, bukan berarti air Sungai Mahakam sungguhan yang baru saja kami timba, dimana pepatah tersebut sebetulnya pun hanya mengibaratkan bahwa seseorang yang sudah sempat menginjakkan kakinya di tanah kami, suatu saat akan dibawa kembali ke sini.
Ibarat seseorang yang rindu akan kekasih hati, maka suatu saat akan mencari kesempatan untuk bersua kembali, melepaskan kerinduan yang ada di dalam dada, selama usia belum mencapai batas akhirnya.
Nah, akibat sudah terbiasa dengan pepatah tersebut, aku pernah berkata kepada salah seorang teman ketika aku sedang berlibur ke Pulau Wangi wangi, yang merupakan ibukota dari gugusan kepulauan Wakatobi, pada tahun 2013, mengenai hal ini, ketika dia mengatakan padaku soal bersua kembali di kemudian hari.
"Aku pasti kembali, karena aku sudah minum air Laut Wakatobi."
Tidak sepenuhnya salah, karena udara dan air yang sempat kita nikmati, dapat membuat hati ini selalu merindu, dan terkenang akan masanya.
Namun sayang sungguh sayang, sudah 9 tahun lebih berlalu, aku belum sempat menginjakkan kaki kembali di tanah WaKaToBi (Wangi wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko), khususnya di Wangi wangi, bahkan konon kabarnya penerbangan menuju ke sana, yaitu di Bandar Udara Matahora, pun telah ditiadakan.
Tapi alhamdulillah, seperti kalimat pepatah lama, masih banyak jalan menuju Roma, begitupun menuju ke Kepulauan Wakatobi. Kalau sudah tak bisa melalui jalur udara, maka marilah kita tempuh jalur laut untuk menuju ke sana.
![]() |
Sekilas kenanganku dan tanteku di Bandar Udara Matahora ketika baru saja mendarat bersama Pilot dan Co Pilot-nya (tahun 2013). Sumber Foto: Pribadi Desain Gambar: Pribadi melalui Canva |
Sebagai pemilik setengah darah Wakatobi, memang kunjungan pertamaku ke sana pada tahun 2013 itu memiliki kesan tersendiri di hatiku, dimana Pulau Wangi wangi tersebut tentunya juga menjadi salah satu kampung halaman bagi aku dan keluarga.
Di sana aku tinggal di rumah tua milik nenekku, yaitu rumah kayu yang memiliki kolong, dengan kamar mandi yang berada di luar rumah, sehingga ketika malam hari tiba dan aku ingin buang air kecil, aku harus berjalan dalam kegelapan melewati sumur dan bebek ternak milik warga sekitar untuk bisa sampai ke toilet.
Kata nenek, toilet sekaligus kamar mandi tersebut baru saja dibangun dengan sempurna (yaitu terbuat dari beton), setelah nenek dan kakekku mendengar bahwa aku dan salah seorang tanteku akan menyusul mereka berkunjung ke Mandati-Wanci.
Mandati adalah salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Wangi-wangi Selatan, dimana merupakan kampung halaman nenekku.
![]() |
Bentor alias Bemo Motor (becak tenaga motor) milik warga di sekitar rumah nenekku. Sumber Foto: Pribadi Desain Gambar: Pribadi melalui Canva |
Banyak hal yang aku rindu soal Wakatobi ini, yaitu yang pertama adalah lingkungannya. Suasananya yang masih tenang, tidak begitu ramai kendaraan membuat kebisingan maupun polusi udara di tempat ini masih minim.
Bayangkan saja, jarak antara rumah nenekku dengan Pelabuhan Pangulu Belo dan Surga Nyata Bawah Laut alias Pusat Segitiga Karang Dunia juga tidak begitu jauh, bisa ditempuh dengan cara berjalan kaki saja sekitar 100 Meter.
![]() |
Pangulu Belo dan Surga Bawah Laut Wakatobi. Sumber Foto: Pribadi |
Bukan tanpa alasan bagiku untuk berjalan kaki menuju Pelabuhan Pangulu Belo di Mandati tersebut, karena jika sedang tidak ada kapal yang bersandar, maka tempat tersebut bisa dijadikan tempat untuk menikmati udara serta pemandangan laut luas yang indah.
Bagiku, memandang laut itu seperti kita memandang semua hal yang kita alami dalam hidup, dimana permasalahan apapun yang kita hadapi selalu ada jalan keluarnya, seperti laut yang luas terhampar di hadapan.
Selain udara dan laut yang kurindu dari Tanah Wakatobi ini, aku juga rindu dengan orang-orangnya yang masih ramah, serta sangat welcome terhadap pengunjung. Mereka menyambut kami dengan suka cita.
Suasana pedesaan memang masih sangat terasa di Wangi wangi, terutama dalam hal kumpul, mengobrol, sambil makan kudapan yang sudah disajikan.
Kebetulan makanan khas Wakatobi juga sangat cocok di lidahku, baik ikan bakar Wakatobi, maupun Kasoami yang dipadukan dengan masakan Ikan Parende.
Kasoami adalah parutan singkong yang dibentuk kerucut menggunakan cetakan (seperti mencetak tumpeng), dan dikukus untuk dimakan sebagai makanan utama (pengganti nasi), sedangkan Ikan Parende adalah ikan yang dimasak dengan kuah kuning, dan merupakan perpaduan yang sangat pas jika dimakan bersama Kasoami ditambah sambel merah yang lezat.
Nah, walau banyak hal menarik yang kualami di Mandati, namun kisah tentang Wangi wangi ini bukan hanya seputar Mandati, karena masih ada Pemandian Umum Goa Air Kontamale yang berada di Desa Pongo, kemudian Benteng Keraton Liya, Rumah Pengrajin Tenun di Liya Togo, serta Patuno Resort Wakatobi yang membuatku rindu akan Wakatobi.
Perjalanan pertamaku adalah menuju ke Pemandian Umum Goa Air Kontamale, dimana kita bisa mandi dan berenang di air jernih yang terus mengalir.
Air yang terus mengalir itulah yang membuat air di pemandian ini tetap jernih walau banyak masyarakatnya yang mandi menggunakan sabun dan sampo ataupun mencuci pakaian di tempat pemandian.
Mandi sambil bercengkerama dengan masyarakat sekitar adalah hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan di Goa Air Kontamale.
Selain itu, kaum jomblo juga dapat bersuka cita ketika mandi di sini, karena pemandian ini dipercaya dapat membuat seseorang yang sulit mendapatkan jodoh, bisa segera menemukan tambatan hatinya.
Nah, kepercayaan tersebut berawal dari cerita rakyat mengenai sepasang muda-mudi yang setuju untuk menikah setelah mandi di Pemandian Kontamale ini.
![]() |
Aku ketika mampir ke Goa Kontamale untuk berenang. Sumber Foto: Pribadi Desain Gambar: Pribadi (melalui Canva) |
Kalau di Kontamale cukup akrab dengan legenda atau cerita rakyat yang mengiringi kunjungan wisatawan di sana, lain halnya dengan Liya Togo.
Di Liya Togo, kita lebih bisa merasakan adat istiadat yang kuat karena terdapat banyak cagar budaya di sana seperti Benteng Keraton Liya, dimana Benteng Liya tersebut merupakan peninggalan Kerajaan Buton yang pernah berjaya pada abad ke 15 sebelum masehi.
![]() |
Gapura masuk ke Kawasan Benteng Keraton Liya (kiri) dan Kamali Lakina Liya alias Istana Kerajaan Liya (kanan). Sumber Foto: Pribadi |
Di samping itu, ada Masjid Agung Keraton Liya yang juga terletak di Kawasan Benteng Keraton Liya. Masjid ini juga merupakan peninggalan sejarah Kerajaan Buton loh, sehingga aura cagar budayanya sangat kental terasa di daerah Liya Togo ini.
Apalagi kita juga bisa mengunjungi rumah panggung yang di bawahnya (kolong) banyak pengrajin leja (kain tenun khas Wakatobi) yang sedang asyik menenun sehingga kita bisa langsung membeli kain tenun asli pengrajin Wakatobi di sana.
Tentu saja aku pun tak melewatkan kesempatan untuk membeli 4 buah sarung leja dari para pengrajin tenunnya langsung.
Sebagian pengrajin tenun yang berada di sana ketika aku mampir saat itu, sudah berusia dewasa dan lanjut usia loh, dimana para wanita tersebut masih bisa berkarya untuk negeri tercinta ini, meski usia sudah tak muda lagi.
Sungguh malu rasanya jika kita yang masih muda ini, justru tak melakukan apapun untuk bumi yang kita pijak.
![]() |
Pengrajin Tenun di Liya Togo. Sumber Gambar: Pribadi Desain Ilustrasi: Pribadi melalui Canva |
Jalan-jalan mengelilingi Pulau Wangi wangi untuk mengenal legenda, sejarah, budaya dan kebiasaan masyarakat sekitar sudah kulakukan, tapi rasanya berplesir tidak lengkap tanpa staycation ya?
Karena bukan sekedar mengetahui seperti apa sih tanah kampung halaman yang sebelumnya tak pernah kupijak ini, melainkan kunjunganku ke Pulau Wangi wangi juga untuk menikmati liburanku dengan bersantai bersama keluarga, khususnya kakek dan nenekku.
Sayangnya mereka menolak untuk menginap, karena bagi orang tua lanjut usia seperti mereka, tiada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri, sehingga kami hanya bisa mengajak mereka serta berjalan-jalan di tempat aku dan tanteku akan melakukan staycation saat itu, yaitu Patuno Resort.
Salah satu tanteku yang kebetulan juga sedang berada di Wakatobi bersama kakek dan nenek-lah yang mengenalkanku akan Patuno Resort ini, dimana katanya jika aku ingin merasakan sensasi menginap di cottage tepi pantai, Patuno Resort Wakatobi ini bisa menjadi pilihannya.
![]() |
Lobby Patuno Resort Wakatobi. Sumber Foto: Pribadi |
Kalau sekarang di Balikpapan sudah mulai menjamur glamping ataupun villa yang terletak di tepi pantai, namun saat aku berlibur ke Wakatobi tahun 2013 itu, belum kuketahui adanya cottage tepi pantai di tanah tempat tinggalku itu.
Oleh karenanya, aku memang benar-benar baru merasakan sensasi menginap di sebuah tempat yang ketika malam sunyi tiba, hanya terdengar desiran pasir yang tersapu hembusan angin bersamaan suara ombak yang menyertai.
![]() |
Aku ketika baru check in di Patuno Resort Wakatobi. Sumber Foto: Pribadi |
Cottage-nya berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu nan kokoh dan rapat, didesain dengan sangat menarik layaknya villa mewah, dengan AC, lampu tidur, meja rias, TV, air minum, kemudian tempat tidur, ruangan bersantai, balkon, bahkan kamar mandi yang luar biasa nyamannya.
![]() |
Aku dan tanteku bersama dua orang tetangga kami di Wanci ketika berada di unit cottage yang kami sewa untuk 2 malam. Sumber Foto: Pribadi |
Tentunya tempat tinggal itu bukan hanya dapat membuat kami betah berada di dalam kamar, melainkan ketika kami membuka pintu kamar pun, kami akan disuguhi dengan pemandangan yang luar biasa menariknya.
![]() |
Kawasan Wakatobi Patuno Resort. Sumber Foto: Pribadi |
Sebenarnya kunjunganku ke Wakatobi kala itu, aku berencana berpergian bersama suamiku sekaligus melakukan bulan madu kami pasca menikah, tapi sayang sungguh sayang dia tidak bisa ikut karena tuntutan pekerjaannya, jadi aku pun hanya pergi berdua dengan tanteku.
Dan jodoh di antara kami yang cukup singkat, yaitu hanya berjalan sekitar enam tahun, membuat kami bahkan tidak sempat melakukan perjalanan khusus atau sekedar staycation untuk melakukan bulan madu kami yang pertama sekalipun.
Sebagai ibu tunggal kini, mimpi untuk itu tetap ada, bersama-sama pasangan halal kelak terbang kembali ke Wakatobi untuk berbagi kebahagiaan berada di tempat yang baru, serta jika memungkinkan, seluruh pulau Wakatobi ingin kujelajahi bersamanya, mulai dari Wangi wangi, Kaledupa, Tomia, hingga Binongko.
Tapi siapa yang bisa mengira kapan jodoh itu kan datang kembali ke dalam hidup kita, sehingga walaupun impian itu hidup di dalam benak, kita tetap harus menjalani kehidupan nyata kita saat ini.
Kini aku memiliki dua buah hati sebagai teman hidup di dalam keseharianku, dimana dengan keterbatasan ekonomi sejak menyandang status ibu tunggal, aku pun belum sempat membawa mereka untuk melakukan quality time bertiga saja di tempat yang berbeda dari keseharian kami.
Jadi jika suatu saat aku mendapatkan kesempatan untuk menghirup udara dan merasakan air Wakatobi kembali, aku akan membawa mereka untuk ikut menikmatinya bersamaku, sebagaimana mereka juga telah membuat hariku tak pernah merasa sepi karena tawa riuh mereka sehari-hari.
![]() |
Patuno Resort Landscape. Sumber Foto: Pribadi |
Ada 3 alasanku mengapa aku ingin sekali kembali ke tempat ini:
- Kerinduan
Kembali lagi pada kata pepatah yang aku bawa dari bumi etam ketika aku berkunjung ke Wakatobi, dimana udara yang sempat kuhirup serta air yang sempat kuminum kan membawaku kembali ke pulau ini, karena kenangan tentangnya tak akan pernah terhapus oleh waktu, sehingga menciptakan kerinduan secara khusus.
- Upacara Adatnya
Suku Buton banyak sekali upacara adatnya, dimana suku Buton merupakan sukunya orang Wakatobi juga.
Kami biasa menyebut suku kami sebagai Suku Buton Wakatobi.
Upacara adat yang kami jalankan, salah satunya adalah upacara adat turun tanah atau bisa disebut juga dengan Kansoda'a dimana upacara tersebut diadakan untuk anak perempuan yang baru beranjak dewasa.
Anak gadis tersebut akan didandani dan diarak keliling kampung menggunakan tandu yang sudah dihias dan diangkat oleh para pemuda desa.
Kebetulan aku menyukai segala sesuatu yang berbau adat istiadat dan budaya seperti tari-tarian beserta upacara adat, tapi sayangnya ketika kunjunganku ke Wangi wangi tempo hari, sedang tidak bertepatan dengan upacara adat apapun.
Semoga di lain kesempatan aku bisa berkunjung bersamaan dengan diadakannya upacara adat di sana.
- Menyatu dengan Alam
Wangi wangi akan menjadi pilihanku ketika kelak dapat berplesiran bersama kedua anakku, sementara Patuno Resort Wakatobi akan menjadi tujuan utamaku untuk melakukan staycation bersama kedua putera - puteriku di Wangi wangi.
Semata-mata agar mereka bisa merasakan bahwa hidup di pesisir tanpa bermain game online melalui telepon genggam juga sangat menyenangkan.
Dimana saat pagi hari tiba dan kamu membuka pintu kamar, semilir lembut angin laut, desiran pasir yang berbisik, ombak yang bergulung-gulung di hadapan, serta nyiur melambai, adalah hal-hal berharga yang tak setiap saat bisa kita nikmati di kota seberapa banyak pun uang kita miliki.
Apalagi berjalan di putihnya pasir pantai tanpa alas kaki, merasakan kesejukkan dan kehangatan secara bergantian menyentuh telapak kaki, kemudian hanya meninggalkan jejak langkah kaki di setiap persinggahan, menuju restoran yang menyediakan masakan ikan segarnya untuk dapat disantap setiap saat, otomatis akan membawa mereka hidup sehat dan menyatu dengan alam.
![]() |
Kawasan Patuno Resort Wakatobi yang kini bernama Wakatobi Patuno Diving and Beach Resort. Sumber Foto: Pribadi Desain Gambar: Pribadi melalui Canva |
Lifestyle Super Application yang biasa menemani para traveller se-Asia Tenggara bernama Traveloka-lah yang membawaku sampai ke Pulau Wangi wangi saat itu.
Melalui satu aplikasi itu kita bisa merencanakan perjalanan dengan sebaik-baiknya, tanpa rasa khawatir tak mendapatkan tiket pesawat ataupun tempat untuk bermalam.
Berhubung aku tipikal orang yang simpel dan merasa agak ribet kalau harus keluar rumah karena aku tidak ingin merepotkan orang lain untuk mengantar-jemputku (aku tak pandai bawa kendaraan sendiri), maka aku lebih senang melakukan pemesanan secara online.
Apalagi pemesanan mandiri melalui fasilitas internet itu membuatku bisa mencari sendiri maskapai yang kuinginkan disesuaikan dengan budget yang kumiliki, serta memilih sendiri tanggal pergi dan pulangnya tanpa perlu repot berkunjung ke travel agent untuk meminta Customer Service-nya melakukan pengecekkan satu persatu, sehingga lebih banyak menghemat waktu dan tenaga.
Namun pada tahun 2013 itu, aku baru menggunakan Aplikasi Traveloka untuk pemesanan tiket pesawat saja, belum begitu familiar dengan proses pemesanan akomodasi alias booking hotel.
Nah, sekarang hidupku sebagai seseorang yang senang melancong menjadi lebih mudah lagi setelah aku mengenal proses pemesanan tempat menginap seperti hotel, apartment, dan sebagainya melalui Aplikasi Traveloka.
Menggunakan satu aplikasi itu, kita bukan hanya bisa mencari lokasi dan hotel yang sesuai keinginan, melainkan juga bisa melakukan Booking Hotel Murah.
![]() |
Berbeda tanggal pemesanan, maka berbeda pula tipe kamar yang tersedia dan berbeda harganya pula. Sumber Foto: Pribadi (hasil capture dari Aplikasi Traveloka) |
Awalnya aku tidak 'ngeh' soal booking hotel murah melalui Aplikasi Traveloka ini dimana ketika tahun 2017 aku pergi ke Pulau Dewata membawa anak sulungku, aku bermaksud memesan hotel melalui Aplikasi Traveloka terlebih dahulu, namun sayang mobil jemputan kami sudah datang sehingga aku memutuskan untuk langsung reservasi saja di hotel tujuan.
Sesampainya di hotel tersebut, aku cukup terkejut karena ternyata harga yang ditawarkan jauh berbeda dari harga yang ada pada Aplikasi Traveloka sehingga sempat menyesal kenapa tidak memaksakan diri untuk memesan terlebih dahulu melalui aplikasi.
Sejak saat itu, aku selalu menggunakan aplikasi untuk melakukan reservasi hotel, apalagi ada beberapa hotel yang tersedia di Traveloka, menawarkan booking dengan langsung melakukan pembayaran di hotel tujuannya.
Sudah kayak pemesanan paket COD saja ya?! Hehehee ... simpel banget, karena tak perlu transfer ataupun memasukkannya ke tagihan kartu kredit terlebih dahulu, melainkan booking saja dulu dan bayar kemudian.
Ada banyak hotel pula di aplikasi tersebut yang menawarkan pembatalan gratis dengan refund dana juga jika ada sesuatu hal yang membuat kita tidak bisa check in pada hari yang sudah dijadualkan.
Aku pun membuka Aplikasi Traveloka yang selalu ada di ponselku untuk iseng mencari Patuno Resort Wakatobi yang 9 tahun silam sempat kusambangi.
Ternyata kini namanya sudah berganti menjadi Wakatobi Patuno Diving & Beach Resort. Setidaknya nama itu yang akhirnya aku temukan untuk tempat yang sama yang sempat aku mampiri beberapa tahun silam tersebut.
![]() |
Hasil capture seputar Wakatobi Patuno Diving & Beach Resort di Aplikasi Traveloka. Sumber Foto: Pribadi |
Selama usia masih dikandung badan, aku pasti kan kembali ke tempat ini, tempat dimana aku sempat menghirup udara dan menikmati mata airnya.
Next time tentunya dengan membawa mereka, yang merupakan #temanhidup berbagi suka maupun dukaku.
Buat kalian yang senang melakukan perjalanan, yuk lihat dunia lagi, staycation lagi, liburan lagi bareng Traveloka, serta pastikan untuk Booking Hotel Murah di Traveloka Hotel!
![]() |
Salah satu dari 100 mata air yang ada di Wakatobi. Sumber Foto: Pribadi |
Yuk #LihatDuniaLagi dan bikin #StaycationJadi dengan Traveloka! Langsung meluncur ke Traveloka lewat link ini: Lihat Dunia Lagi