Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Desain Gambar: Pribadi |
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang sedang viral dan datang dari pasangan artis Indonesia, sangat menyita perhatian sebagian besar masyarakat, khususnya para wanita yang geram melihat sang korban terbaring di rumah sakit dengan kondisi yang tidak baik-baik saja.
Sebagian besar para wanita sontak menyerukan hujatan kepada si pelaku yang tega melakukan kekerasan berat hingga membuat isterinya cedera parah.
Sementara sebagian lagi merasa kecewa karena lelaki yang terlihat baik-baik saja, selalu memperlihatkan tawa cerianya, terutama ketika sedang bersama sang istri, mana good looking pula, ternyata aslinya merupakan sosok yang 'ringan tangan'.
Seandainya 'ringan tangan' yang dimaksud adalah dalam artian positif seperti suka membantu orang lain, justru malah bagus, namun sayangnya 'ringan tangan' di sini berkonotasi negatif yang berarti kasar atau mudah sekali melakukan kekerasan terhadap orang lain.
Akibat perbuatan pelaku, kabarnya pihak dari korban sudah melakukan pelaporan kepada kepolisian, dan segera dilakukan proses visum atas luka lebam yang diderita korban untuk membuktikannya, bahkan korban sampai harus dirawat di rumah sakit untuk perawatan dan pemulihannya.
Hal itu membuat si suami terlibat permasalahan hukum, sehingga sebagian besar netizen menyerukan cacian, makian, sumpah serapah, serta berharap agar keduanya bisa berpisah saja, sebelum terjadinya KDRT yang jauh lebih parah daripada yang sudah pernah dialaminya.
Konon kabarnya pula, KDRT tersebut menyebabkan kerongkongan si korban hingga nyaris bergeser, sedangkan sang korban adalah seorang biduan dimana caranya mencari nafkah adalah dengan cara menjual suara.
Setiap orang yang mendengar kabarnya merasa ikut tersakiti dan berpikir tentang betapa kejinya sang suami yang bukan hanya ingin menghancurkan istrinya secara mental melainkan juga menghancurkan fisiknya secara total hingga untuk melanjutkan hidup pun sudah tak berdaya lagi.
Apalagi sang biduan dan keluarganya langsung berangkat umroh setelah kejadian, untuk meminta petunjuk kepada Allah, dan sempat tertangkap basah kamera peserta umroh yang lain saat si biduan sedang berpelukan dengan ayahandanya sambil menangis tersedu-sedu.
Hati wanita mana yang tak ikut iba ketika melihat seorang wanita tersakiti begitu dalamnya, seperti sudah diselingkuhi, digebukin pula!
Sebagai sesama wanita, hampir seluruh istri sah dan para emak beranak bersatu padu ikut meratap sekaligus merutuk dan menyumpah serapah.
Betapa laknatnya seorang lelaki yang sampai hati menggunakan tangan dan bibirnya guna menyakiti seorang wanita yang sudah menjadi ibu dari anak-anaknya.
Para netizen mendadak bersatu dengan polri untuk menyeret si pelaku kekerasan terhadap istri sendiri itu ke balik jeruji besi dan menyerukan perceraian di antara keduanya.
Tapi siapa sangka ketika sang suami sudah ditetapkan menjadi tersangka pelaku kekerasan terhadapnya dengan bukti visum dan CCTV, sang biduan bersama keluarganya pulang kembali, terbirit-birit ke Indonesia untuk mencabut gugatannya, memberi klarifikasi dan kemudian bersikap tak pernah terjadi apapun di antara mereka.
Alasan si artis mencabut gugatannya adalah demi anak, katanya si anak masih membutuhkan bapaknya.
Para netizen kembali bersorak, namun kali ini untuk meneriakkan kekecewaan mereka terhadap keputusan sang biduan.
Ada yang merasa di-prank, ada yang menganggap si biduan terlalu bodoh, tapi ada juga yang berpikir bahwa keputusan si biduan untuk memaafkan suaminya sudah benar karena setiap orang memang perlu ada kesempatan kedua apalagi jika mereka sudah memiliki anak.
Kasus wanita yang kembali kepada suaminya setelah menerima perlakuan KDRT ternyata banyak terjadi di masyarakat kita, sayangnya tidak viral karena bukan dari golongan artis, selebgram, ataupun di lingkungan orang-orang yang tanggap momen untuk direkam dan disebarkan.
Pengalaman pribadiku sendiri adalah hampir 10 tahun silam, seorang anak kos di indekos milik orang tuaku, sering didapati orang tuaku diperlakukan kasar oleh suaminya, bahkan hingga pingsan dan diseret di lantai seolah karung beras.
Ketika itu mamiku dari lantai 2 melihat dari balkon rumah, si suami tampak seperti sedang menyeret sesuatu di lantai, namun beliau sama sekali tak menyangka kalau yang digeret tersebut adalah istrinya sendiri, hingga keesokan harinya, si istri 'curhat' kepada mamiku kalau dia pingsan setelah menerima perlakuan kasar.
Sebagai sesama wanita, langsung frontal mamiku menyerukan soal perceraian.
"Sebelum kamu terbunuh", begitu kata mamiku saat itu.
Tapi siapa sangka setelahnya mereka mesra lagi, nonton bioskop lagi sekeluarga layaknya tak terjadi apa-apa. Kebetulan mereka pun telah memiliki anak 1 yang berusia balita.
Aku sendiri, jangankan diperlakukan kasar secara fisik, tidak dihargai sepanjang pernikahan dengan ending mengetahui suami sudah berselingkuh saja, langsung tegas memutuskan untuk meninggalkan suamiku itu.
Gugatan Cerai dan Hak Asuh Anak
Anak-anak tidak akan bahagia hidup dalam keluarga utuh yang banyak drama kesedihan di dalamnya dibandingkan anak-anak hidup dengan single mom yang bahagia.
Alasan 'anak' untuk bertahan dalam rumah tangga yang menyengsarakan sangat terdengar klise dimana anak-anak pun tidak akan tersenyum jika menyaksikan ayah dan ibunya hampir tiap hari bertengkar, melainkan mental dan jiwa mereka bisa ikut tertekan.
Lantas apakah yang mendasari perempuan enggan berpisah atau meninggalkan lelaki yang 'ringan tangan' terhadap mereka?
Sebagai netizen yang cermat, aku sering mengamati beberapa komentar dari sebagian besar komentator mengenai pengalaman rumah tangga mereka ataupun membaca artikel artikel semacam itu sehingga aku pun mengambil kesimpulan bahwa alasan wanita enggan meninggalkan suami yang kasar adalah sebagai berikut:
- Terlalu Bucin
Kata 'bucin' tentu sudah tidak aneh terdengar di masa sekarang ini dimana yang dimaksud dengan 'bucin' sendiri adalah singkatan dari budak cinta, yaitu suatu kondisi ketika seseorang merasa tergila-gila dengan pasangannya sehingga rela diperlakukan seperti apapun.
Wanita yang 'bucin' justru merasa tidak memiliki gairah hidup ketika tidak bersama-sama dengan pasangannya lagi, sehingga dia tidak dapat membayangkan ketika dirinya sudah tidak bersama dengan sang suami, lalu suaminya sudah mendapatkan pengganti dirinya.
Baginya, sakit ditinggalkan oleh pasangan yang sangat dicintainya itu akan jauh lebih nyeri daripada rasa sakit fisik yang dia terima akibat dipukuli oleh sang suami.
Ilustrasi BuCin. Desain Gambar: Pribadi |
- Tidak Mandiri
Wanita yang tidak mandiri, khususnya tidak mandiri secara financial, akan takut meninggalkan suaminya yang kasar karena khawatir ketika sudah berpisah ia tidak tahu harus bergantung pada siapa, apalagi jika kondisi wanita itu sudah yatim piatu atau tinggal di tempat yang jauh dari jangkauan sanak dan saudaranya.
Hal tersebut menyebabkan ia susah lepas dari lelaki yang mencukupinya makan maupun tempat tinggal walau memperlakukannya sesuka hati, ditambah ia juga memiliki seorang anak yang butuh dibiayai sementara ia tak yakin bahwa setelah pisah dari suaminya apakah sang suami tidak akan ingkar terhadap nafkah dan pendidikan anaknya.
Anak menjadi 'alasan' agar orang tuanya tidak berpisah walau terjadinya KDRT dalam rumah tangga mungkin lebih tepat sasaran jika seorang wanita memang mengalami kondisi ini, yaitu tidak mandiri secara financial.
Ilustrasi tidak mandiri secara financial. Desain Gambar: Pribadi |
- Minder
Seorang wanita dengan kepercayaan diri yang rendah akan merasa khawatir untuk berpisah dengan suaminya karena takut akan hidup sendiri sepanjang sisa usianya.
Biasanya mereka merasa tidak menarik dari segi fisik, penampilan dan kehidupan sosial sehingga dia ragu apakah akan mendapatkan jodoh kembali setelah berpisah dengan suaminya.
Di samping itu, dia juga takut kalah saing, dimana setelah dia berpisah dengan suaminya, mantannya itu sudah menemukan jodoh kembali sementara dia masih sendiri.
Ilustrasi Minder. Desain Gambar: Pribadi |
- Omongan Tetangga
Ada selentingan kalimat yang mengatakan bahwa 'omongan tetangga' jauh lebih pedas daripada cabai rawit hijau sekalipun.
Bukan tanpa alasan, status duda dan janda di mata sebagian besar masyarakat memang jauh berbeda.
Ketika bercerai, seorang duda justru mendapat apresiasi di mata masyarakat seperti mendapatkan tanggapan sebagai 'duren' alias duda keren segala, sementara status janda bagi sebagian besar orang justru lebih ke arah negatif.
Beberapa kerabat yang saya kenal bahkan menyembunyikan status jandanya karena takut mendapat malu, padahal janda itu sama sekali bukan aib.
Siapa coba yang mau menjadi janda jika takdir tidak memaksa mereka?
Apalagi ternyata KDRT itu terjadi di pernikahan kedua atau lebih pada seorang wanita, sehingga dia memutuskan untuk bertahan walau sakit demi menghindari 'omongan tetangga' yang lebih menyakitkan hati.
Ilustrasi 'Horornya Omongan Tetangga'. Desain Gambar: Pribadi |
- Mengamankan Aset
Beberapa pasangan mungkin mudah memilih berpisah ketika dalam rumah tangga sudah tidak ada hal-hal yang bisa menjadi permasalahan ke depannya lagi, terutama saat mereka harus menghadapi sidang perpisahan lagi.
Misalnya saja mengenai harta yang dia peroleh setelah menikah bersama pasangan, dimana ketika terjadinya KDRT dan pelaporan ke pihak kepolisian, si korban mendapat kesempatan mediasi sekaligus negosiasi dengan si pelaku dimana pembebasan pelaku (pencabutan laporan) akan dilakukan dengan syarat-syarat tertentu seperti pemisahan harta dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.
Oleh karenanya wanita ini akan mencoba kembali, memberikan kesempatan pada suaminya setelah mengamankan aset-aset rumah tangga yang dia miliki.
Ilustrasi harta dan properti. Desain Gambar: Pribadi |
- Penyimpangan Perilaku 21+ (Kejiwaan)
Mungkin bagi kita yang awam ini aneh dan sama sekali tidak masuk akal, namun aku pernah menonton sebuah film hollywood lama dimana bercerita tentang penyimpangan seksual tokoh utamanya (seorang wanita), yaitu ketika berhubungan suami istri, dia sangat bergairah jika menyelipkan drama kekerasan di dalamnya.
Properti yang disediakan oleh pasangan sakit jiwa ini biasanya rantai, borgol, bahkan cambuk, dimana mengikat leher pasangan menggunakan rantai dan mencambuknya adalah hal yang menyenangkan bagi seseorang dengan kelainan ini.
Begitupun dengan memborgol tangan pasangan di ranjang, lalu memperkosanya dengan kasar.
Walau bagi mereka drama kekerasan ranjang ini sangat menyenangkan, namun dapat merenggang nyawa, seperti film yang aku tonton tersebut dimana ending-nya, si penerima kekerasannya tewas usai bermain cinta.
Penyimpangan ini saling memberi dan menerima biasanya, dimana seseorang yang sadis itu, berjumpa dengan seorang yang justru merasa sangat bergairah ketika disiksa.
Istilah medis dari kelainan jiwa ini adalah sadomasokisme atau jika dipisah secara spesifik adalah sadis dan masokis dimana si sadis bertemu dengan pengidap masokisme menjadi pasangan yang klop alias saling melengkapi.
Wanita yang mengidap masokisme tentunya hanya akan bertahan dengan suami yang sadis untuk memuaskan hasratnya dalam pernikahan karena khawatir tidak dapat menemukan pasangan yang klop untuk ke depannya lagi, berhubung tidak banyak orang yang memiliki gangguan semacam itu.
Sama halnya ketika seorang homo atau lesbi menjadi pencemburu buta kepada pasangannya akibat susah mencari pasangan yang sefrekuensi.
Wah, seram sekali ya jika memang di sekitar kita ada yang mengidap kelainan semacam ini.
Ilustrasi SADOMASOKIS. Desain Gambar: Pribadi |
Nah, walau ada beberapa alasan yang membuat seorang wanita tetap bertahan dengan sang suami walau digebukin, namun apapun alasan yang mendasari KDRT itu bisa terjadi, pelakulah yang paling bersalah dan layak mendapatkan hukuman setimpal atas perbuatannya itu.
Sementara bagi para wanita yang lebih umum menerima perlakuan kasar atau KDRT dari suaminya, hendaknya memiliki daya lebih dan ketegasan agar tidak terus-menerus menjadi korban, karena sesungguhnya masing-masing dari kita haruslah menghargai diri sendiri terlebih dahulu, sebelum mengharapkan orang lain akan menghargai diri kita.