Aku pun tersedu di tengah dera rasa kecewa anakku yang tidak ia ucapkan.
Hanya seorang ibu yang tau rasanya.
Dengan berbekal 3 lembar tiket waterpark yang kudapatkan secara gratis pada suatu event dan hanya bisa digunakan pada tanggal tercantum (yaitu 31 Januari), aku merayu suamiku dengan dalih 'sayang' dan 'mubazir' jika tidak terpakai, agar ia bisa sekali saja meluangkan waktu untuk menemani anak-anakku berekreasi, terutama Aisyah.
Anak perempuanku yang usianya sudah menjelang 5 tahun itu, mulai mengerti mengenai keluarga utuh. Dia selalu bertanya, "Mengapa Daddy tidak bersama kita?" atau "Mengapa Daddy tidak pernah membawa kita ke tempat main?"
Keluarga Aisyah bukan keluarga broken home, aku dan suami tidak pernah berpisah (cerai), tetapi sejak kelahiran Aisyah, kami tidak pernah tinggal bersama. Daddy nya memilih untuk tinggal di ruko, alasannya karena dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Bahkan setiap kami meminta tolong untuk mengantarkan ke suatu tempat, selalu terkesan terburu-buru, dan sepanjang jalan nyaris susah mencari moment untuk mengobrol dengan santai karena ia sibuk berbicara sendiri mengenai kesibukannya, mengomel mengenai waktu yang terbuang dengan percuma karena aku yang selalu minta bantuannya, dan sebagainya, bahkan aku hampir jenuh dengan itu semua sehingga sempat malas meminta bantuan. Bertemu pun sudah tak berharap untuk berbicara apapun, apalagi mengeluarkan permohonan untuk mengadakan rekreasi sekeluarga meski hanya membawa anak bermain di taman.
Tak ada quality time yang sesungguhnya bagi kami sekeluarga, kecuali quality time antara aku dan anak-anak semata, tanpa Daddy nya. Sebelum lahirnya anak kedua, aku selalu membawa Aisyah untuk pergi berdua, entah menonton bioskop ataupun menemaninya bermain di playground mall. Setelah adiknya lahir, kami baru bisa pergi ke mall jika diajak oleh orang tuaku, JiPi (kakek) dan JiEm (nenek) nya Aisyah.
Hatiku sangat plong ketika mengatakan pada Aisyah bahwa pada akhirnya si Daddy setuju untuk membawanya ke waterpark. Dia bertanya, "Seperti apa waterpark itu?" dan aku pun menunjukkan video youtube mengenai tempat yang ia maksud, bahkan menunjukkan 3 lembar tiket tersebut agar ia tahu bahwa kali ini kami serius akan membawanya ke sana.
Hari yang ditunggu tiba, ia antusias sekali. Sejak pagi hari ia sudah membujuk Daddy nya untuk pergi ke sana, tetapi dijanjikan oleh si Daddy sore hari sekitar jam setengah 4 saja. Apa daya karena kesibukannya, ia bahkan hampir membatalkan janji itu dan aku pun menyerah membujuknya, namun kemudian berusaha memutar otak agar Aisyah tidak begitu kecewa.
Syukurlah JiPi dan JiEm nya datang. Aku pikir bisalah mengalihkannya dengan mengijinkan dia ikut JiPi dan JiEm menjemput sepupu-sepupunya di tempat les.
Detik-detik terakhir Aisyah mau pergi, si Daddy berkata akan menjemput. Aku dan Aisyah pun bersiap menunggu. Jam setengah 5 dia baru datang, dan kami tidak langsung dibawa ke waterpark. Aisyah terus merengek sepanjang jalan, tapi dia masih harus mampir untuk menyelesaikan urusannya.
Sesampainya di waterpark, Aisyah berdecak kagum melihat jejeran patung mermaid di depan pintu masuk. "Wow" dan "wow" saja yang keluar dari bibir mungilnya. (Bahkan saat menulis ini, air mataku kembali mengalir).
Apa daya, satpam waterpark mengatakan bahwa mereka sudah tutup, membuat kami sedikit bernegosiasi, mengatakan agar memberi kesempatan sedikit saja agar anak kami bisa masuk dulu dan bermain sebentar saja di arena anak. Tanpa tahu menahu, dengan tingkah polah lugunya, Aisyah membuka-buka bajunya menunjukkan dirinya sudah menggunakan pakaian renang kepada satpam yang masih menjelaskan kepada kami mengenai kondisi waterpark.
Kami pun mengalah, meninggalkan lokasi tersebut. Namun tumpah ruah tangisku melihat raut kecewa di wajahnya disertai dengan pertanyaan yang keluar dari bibirnya, "Padahal Aisyah pengen masuk, kenapa kita pergi?"
Seandainya wajahku tidak dibanjiri oleh air mata, aku pastikan bahwa Aisyah yang akan menangis. Aku seorang ibu, 24 jam aku bersamanya setiap hari tanpa jeda, aku tahu jelas bendungan air mata yang membuat kantung matanya terlihat lebih gelap dan ujung bibirnya yang bergerak naik turun menunjukkan hatinya yang terluka. Tetapi Aisyah anak baik, ia selalu berusaha mengimbangiku, itu sebabnya aku sangat sayang padanya. Melihatku menangis, ia berusaha menahan perasaannya, itu juga yang membuat hatiku semakin pilu.
Tak ada permintaan maaf, atau memperlihatkan sedikit saja rasa penyesalan di hadapan Aisyah, Daddy nya sempat nyeletuk, "Ini kamu yang mau ke sana atau Aisyah? Aisyah loh tidak apa-apa."
Seandainya saja mengikuti egoku, pada hari kedua aku menstruasi ini, jauh lebih baik aku berada di tempat tidur, bersantai, menikmati hari, nonton TV sambil ngemil, terlebih lagi tidak perlu bertemu muka dengan seseorang yang bisa membuat tekanan darahku naik seketika bahkan di saat sedang tidak mens sekalipun. Tetapi seorang ibu rela mengorbankan kebahagiaannya atau apapun demi kebahagiaan anaknya. Tiket itu hanya berlaku pada hari ini, dan akhirnya hangus sia-sia juga.
Mungkin hanya seorang Daddy yang bisa mengeluarkan pertanyaan semacam itu karena tidak tahu menahu akan luka dalam yang dapat seorang anak rasakan ketika kecewa.
Kemudian kami sepakat untuk membawanya ke waterpark yang lainnya agar ia tidak begitu kecewa, meski ternyata sudah tutup juga! Tetapi, syukurlah masih bisa dinego, walau tak ada bedanya seperti ke kolam renang biasa karena sudah tak ada air mancur maupun air tumpah, sekedar bermain slide di atas air. Mana banyak nyamuk. Sudah sangat sore, bahkan menjelang maghrib. Syukurnya ia bisa menikmatinya juga. Namun sedikit banyak ia pasti merasa bahwa suasananya tak sesuai dengan apa yang aku tawarkan. Betapa saat itu aku merasa menjadi ibu yang tak berguna, menawarkan janji palsu. Seandainya tadi batal saja sekalian.
Entahlah, rasa saling memahami antara aku dan Aisyah sangat dalam. Di saat orang lain tak mengerti akan kepedihannya, aku adalah orang yang paling paham. Karena banyak sekali hal receh yang dia alami membuatku bersedih.
Pernah juga suatu saat aku meminta si Daddy membeli galon dan kami ikut di dalam mobil. Aisyah adalah anak yang agresif, dan aku sudah terbiasa dengan sikap antusiasnya yang berlebihan itu. Tetapi Daddy nya tidak biasa, dan saat itu ia memang terlihat dalam kondisi sangat tidak mood. Sikap Aisyah yang agresif membuat Daddy meng-Aduh sembari melirik dan memperlihatkan wajah kesal pada Aisyah sebelum ia pergi meninggalkan mobil untuk membeli galon (saat itu mobil sudah berhenti tepat di depan pintu minimarket.
Aisyah tahu jelas itu. Aku melihat raut wajahnya sudah mulai berubah. Naluri sebagai seorang ibu membuatku tak dapat menahan diri untuk tidak segera memeluknya. Tangisnya tumpah ruah dalam pelukanku, begitupun dengan aku.
Di lain waktu sang JiPi memarahinya ketika ia melompat di punggung JiPi. Sebenarnya JiPi selalu berusaha tidak memarahi Aisyah jika di depanku, karena rasa sayangnya pada Sachio yang jauh melebihi Aisyah, memang membuatku menjaga hak dan 'posisi' Aisyah di dalam keluarga, sehingga jiPi berusaha tidak membuatku tersinggung.
JiPi selalu menganggap Sachio cucu terbaik, jadilah aku berusaha keras agar Aisyah terhindar dari fitnah (tuduhan) sepupu-sepupunya itu. Meskipun mereka semuanya masih anak-anak. Karena si JiPi tidak pernah mau bertanya terlebih dahulu, melainkan menelan mentah-mentah aduan dari salah satu cucunya, lalu langsung menegur yang lainnya. Dan keseringan ditujukan pada Aisyah, mengingat Aisyah anak yang paling bontot.
Pada saat itu sebenarnya JiPi mengira yang melompat di punggungnya adalah Sachio, jadi ia menegur dengan keras. Meskipun ditegur dengan keras, jika itu adalah Sachio, ia tidak akan terluka karena ia tahu dengan jelas kalau JiPi menyayanginya, sementara Aylin disayang oleh JiEm. Sama halnya jika aku yang menegur Aisyah, dia tidak begitu peduli karena dia tahu dengan jelas kalau aku sangat menyayanginya. Tetapi jika Daddy yang menegurnya? Atau JiPi? Lain ceritanya.
Spontan Aisyah langsung terdiam, berusaha setengah mati menahan tangisannya yang lagi-lagi ia tumpahkan di dadaku karena aku tak sanggup membiarkannya seorang diri tanpa pegangan, selalu langsung menawarkan pelukanku. Dan aku .... tentu saja ikut menangis.
Aisyah ... aku adalah ibu yang cengeng, tidak mandiri, dan tak berdaya upaya ... tapi kuingin engkau tahu bahwa diri ini selalu ada untukmu. Tanpa kukatakan pun, Aisyah mengerti bahasa tubuhku. Selalu setelah aku peluk, ia bisa kembali bermain dengan ceria, tiada dendam dan kembali ceriwis, menceritakan serta bertanya apapun.
Seandainya kita sebagai orang tua bisa menyingkirkan sedikit saja ego demi anak-anak, seandainya saja sedikit pengorbanan bisa dilakukan untuk anak. Karena istri atau suami, masing-masing tidak saling bertautan dalam hal darah dan daging, tapi anak? Dalam dirinya mengalir darah kedua orang tuanya.
Bahkan ada kata pepatah yang mengatakan bahwa, "Anda memiliki waktu seumur hidup untuk bekerja, namun anak-anak hanya memiliki masa kecil sekali."
Berkumpullah dengan keluargamu sebelum kau dipisahkan oleh maut. Pulanglah ke rumah dan luangkan waktu untuk berkumpul bersama istri dan anak-anakmu, sebelum kau dipaksa pulang oleh Allah SWT.
Video itu kurekam saat Daddynya meminta ijin pada Aisyah untuk pergi kembali kerja dulu dan sore hari baru pergi mengantarkannya bermain di waterpark (duh aku sedih lagi setiap ingat). Saat itu sebenarnya Aisyah sudah khawatir Daddy nya ingkar janji.
Foto-foto di bawah ini ketika dia bermain sekedarnya di waterpark yang sebenarnya juga sudah tutup (aku mewek lagi).
Syukurnya, tidak berapa lama dia nyemplung, datang anak sepantaran dia. Kebetulan memang saat itu satu kolam sedang digunakan buat latihan renang para atlit cilik. Mungkin anak seusianya itu adalah anak yang sedang menunggu selesainya latihan atau anak sekitar lokasi. Aisyah sudah pandai berkenalan, Aisyah bilang kalau nama temannya itu Ira.
Sehat-sehat selalu ya anak-anakku, aamiin.
Salam cinta selalu dari Mami kalian yang cengeng ini. Heheheee ...
Kelak jika raga ini sudah tak ada di sisi kalian, tulisan ini masih bisa dibaca untuk mengenangku, terutama mengenang hangatnya pelukanku saat kalian merasa sendirian.