Keterangan: Berbagi payung, meski kecil tetap memberi manfaat. Sumber Foto: Koleksi Pribadi. |
Menyusuri perjalanan hidup sampai usiaku menginjak 35 tahun, sudah berkali-kali mengalami jatuh hingga berdiri pun tak sanggup lagi kurasa.
Aku terlahir sebagai seorang anak pengusaha yang sukses pada masanya, apapun yang aku inginkan terpenuhi, bahkan menjadi bos dari para pekerja di rumah (pembantu) serta para pekerja di kantor papaku. Bukan hanya pembantu yang harus memenuhi perintahku, tetapi sopir di kantor papa yang juga dipekerjakan untuk mengantar jemputku ke sekolah seringkali kupergunakan untuk sekedar pergi membeli coklat ke supermarket.
Aku juga bukanlah seorang yang pandai berbagi. Sebagai anak tunggal, aku terbiasa memiliki apapun seorang diri, hanya untukku. Tak ada keikhlasanku saat melihat orang lain ikut bergembira atas sesuatu yang aku miliki.
Sampai saat itu tiba. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada umumnya serta merta menerpa keluarga kami. Perusahaan yang dibangun papa dengan susah payah hancur lebur dan harus gulung tikar. Satu persatu aset perusahaan maupun pribadi mendadak lenyap dari hadapan kami untuk menutupi hutang perusahaan. Rumah yang kami tinggali saat itupun atas kemurahan hati salah seorang anggota keluarga yang membantu melunasi sisa hutang agar tidak ikut tersita oleh bank, sekedar untuk kami tidak terkatung-katung di jalanan tanpa tempat tinggal. Gali lobang tutup lobang, siksa riba yang sempat mendera kami.
Kami jatuh susah ketika usiaku mulai beranjak remaja. Saat keinginanku sebagai 'anak baru gede' tambah menanjak, aku dipaksa keadaan untuk menerima kenyataan bahwa semuanya telah lenyap, mimpi pun tak berani hadir di hadapanku.
Adik lelakiku, yang diadopsi ketika ia masih berusia 15 hari, berbeda usia 8 tahun denganku, tumbuh besar dalam kondisi sulit di keluarga kami.
Meskipun begitu, ada hikmah yang bisa diambil, keluarga kami lebih harmonis karena papa sering berada di rumah. Yang biasanya sering kesulitan mencari waktu untuk quality time bersama keluarga, menjadi sering menghabiskan waktu bersama kami, tanpa melupakan tanggung jawabnya untuk menafkahi kami. Alhamdulillah, rezeki tak pernah surut. Dalam keadaan tanpa pekerjaan tetap, rezeki kami selalu datang melalui sang kepala keluarga.
Papaku, seorang mualaf, keturunan Tionghoa, adalah seorang yang sabar, tekun dan gigih, sangat bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya.
Mulailah kami berbagi apapun yang ada untuk kami nikmati bersama satu keluarga, membuat masing-masing dari kami tumbuh sendiri perasaan empati terhadap kesulitan orang lain. Membuat sedikit demi sedikit rasa egois dalam diriku mulai terkikis.
Aku mulai akrab dengan kotak amal dan keluargaku mulai akrab dengan panti asuhan, merasakan apa yang mereka alami yang bahkan lebih buruk dari kami yaitu tidak memiliki orang tua serta sanak keluarga, memberikan bantuan sekedarnya dari bagian yang kami punya, meski sedikit nilainya, tak sebanding dengan apa yang orang lain bisa berikan.
Tak mengurangi apa yang kami punya, Allah malah membayar kontan, tanpa nego bahkan memberikan lebih!
Tanah yang papa beli sewaktu usahanya masih jaya, namun berada di lokasi yang cukup jauh dari kota, mendadak menemukan jodohnya setelah sekian lama mencari. Seorang hartawan membeli seluruhnya, karena bertepatan dengan rencana pembangunan jalan tol Kalimantan Timur di sampingnya.
Taraf hidup kami kembali meningkat, namun pengalaman hidup tak terlupakan tak akan mengecilkan hati kami kembali untuk merangkul dunia. Setelah melunasi sisa hutang, bersedekah yang utama adalah kepada keluarga yang membutuhkan terlebih dahulu, dan papa melakukannya dengan sangat ikhlas. Aku banyak belajar dari beliau mengenai keikhlasan itu.
Setelah menikah, aku ikut dengan suamiku, berhenti dari pekerjaanku untuk menjadi seorang istri, tentu sudah bukan tanggungan papaku lagi, dan suamiku juga bukanlah orang yang berlebihan secara ekonomi, tak ada property apapun yang kami miliki, sekedar untuk makan, kebutuhan sehari-hari, dan biaya operasional rumah yang aku tempati, kebetulan rumah milik orang tuaku yang diijinkan untuk kami tempati.
Pernah suatu ketika aku sedang 'berselancar' di dunia maya, kebetulan koneksiku kepada keluarga dan kerabat sebagian besar melalui sosial media, tanpa sengaja berita mengenai kesengsaraan anak-anak muslim yatim piatu korban perang Palestina mengusik hatiku, membuatnya tergerak untuk mengirimkan donasi pada rekening yang tercantum. Tidak banyak, karena aku memiliki seorang anak balita saat itu (kebetulan anak keduaku belum ada), yang kebutuhannya pun juga besar.
Hanya selang seminggu setelahnya, Allah kembali menjawab! Aku mendapat kabar bahwa foto anakku yang diikutkan dalam perlombaan yang diadakan oleh salah satu produk susu, menang dan mendapatkan hadiah berupa sebuah kalung berliontin emas senilai 10 gram. Alhamdulillah.
Pelajaran hidup yang kekal, ketika berbagi tidak mengurangi harta malah mengembalikannya berkali lipat, jadi jangan takut berbagi.
Aku yang dulu menyimpan rapat kisah ini, kini sudah lebih siap untuk membaginya, agar setiap orang bisa mendapatkan manfaatnya juga. Seperti nasehat Ustadz Khalid Basalamah selalu, "Tak ada orang yang miskin karena bersedekah!"
Semoga bisa menginspirasi.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa.