-->

Cinta di kala Subuh (Oleh: Annisa Tang)

ilustrasi cinta. ©2013 Merdeka.com/Shutterstock/Kaveryn Kiryl

          Langit sedang menunjukkan kuasa, gemuruh suara amarahnya terdengar menggelegar, seolah ingin menelan bumi dan segala isinya. Angin tidak mau kalah, menyerang Pohon Bintaro yang berdiri tegak, membuat ranting dan daunnya terayun kian kemari, sesekali terdengar suara 'gebrakan' keras, buahnya jatuh bergantian di atas mobil yang terparkir di pinggir jalan. Awan mulai menangis membasahi bumi pertiwi.

Sayup-sayup adzan berkumandang, nyaris tak terdengar, namun Gilang, pemuda paling tampan di kampung, anak seorang ustadz yang disegani, lagi kaya dan soleh, tidak pernah melewatkan untuk Solat Subuh di masjid dekat rumahnya. Ia salah seorang yang cukup beruntung memiliki rumah tak jauh dari tempat ibadah, tapi bukan hanya dia, beberapa pemuda lainnya pun ada yang bertempat tinggal tidak jauh dari masjid, bahkan tepat di sebelah, hanya Gilang seorang yang tak pernah luput meninggalkan Salat Subuh berjamaah.

Meskipun hujan sedang mengguyur, walau petir menyambar dan angin bergulung-gulung segera menjelma menjadi badai yang luar biasa menakutkan bagi sebagian orang, belum lagi dinginnya cuaca yang sebagian lagi memutuskan untuk melanjutkan tidurnya hingga pagi menjelang, Gilang tetap melangkah dengan pasti keluar rumah.

          A Ai, gadis berkulit putih dan bermata sipit, rambut sebahu dengan poni rata di atas alisnya, kemerah-merahan jika disiram cahaya mentari yang terik, membuat ia semakin ‘amoy’, kala itu tengah gelisah di jendela rumahnya. Hujan tak ada tanda akan berhenti. Sedangkan ia biasa pergi ke Pasar Subuh untuk membeli sayuran dan daging, keperluan warung makan milik ayahnya yang terkenal dengan sebutan Koh Awie.

Pasar Subuh melewati Masjid Al Huda, tempat Gilang biasa beribadah. A Ai adalah non muslim, ia bersembahyang di Klenteng, penganut Kong Hu Cu. Ketika kembali dari pasar, ia selalu berpapasan dengan Gilang, sang pria idola. Meski tidak bertegur sapa, bahkan Gilang sama sekali tidak menoleh kepadanya, namun ia menaruh rasa kagum terhadap Gilang.

          Ibarat pungguk merindukan bulan, gejolak emosi dalam dada A Ai seirama dengan kemurkaan alam fajar ini menghasilkan bahasa tubuh yang susah diartikan setiap mereka berpapasan, membuat kakinya sukar untuk bergeser saat ini. Emosi alam hanya menjadi sebuah alasan karena musim bukannya baru berganti satu atau dua hari.

“Hujan sudah tinggal rintik, Yuu pergilah beli sayur, sayang kalau depot libur, biar ai siap-siap buka.” Awie membuyarkan lamunan Ai. Ia hanya tinggal berdua dengan papanya itu, sang ibu sudah lama pergi dengan pria lain, dan tak pernah sekalipun datang menjenguk.

          A Phei, ibunya, adalah wanita Tionghoa modern, berdandan dan bergaya, sedangkan Awie seorang yang ‘bleke’, berpakaian sesukanya, kaos oblong dan celana selutut adalah busana kebangsaannya, kemana-mana dengan vespa butut, membuat A Phei malu dan tidak betah bersamanya.

Tanpa ibu dan hanya bersama dengan seorang ayah sejak ia berusia remaja 14 tahun membuat A Ai menjadi gadis yang tidak percaya diri dalam bergaul, namun sangat mandiri dalam mengurus dirinya sendiri, rumah, warung, serta ayahnya.

          A Ai melirik jam di dinding, sudah hampir pukul 6 pagi, ia memilin-milin ujung rambutnya dengan jari jemari tangan kanannya, gelisah. Namun dalam kondisi rawan hati, lalu ia pun meraih payung dan berusaha melawan kegaguan kakinya, melangkah tertatih-tatih hingga lupa mempertahankan diri ketika berpapasan dengan angin, payung terlepas dari genggamannya.

“Aduh!” Pekiknya terkejut.

Ia hanya bisa menatap si payung rainbow terbang meliuk-liuk, terhuyung-huyung, berayunkan angin lalu jatuh dan terseret-seret di aspal, sebelum akhirnya berhenti.

Si kaki jenjang adalah pemberhentian terakhir payung, karena menghalangi angin untuk terus menyeretnya.

A Ai tertegun sejenak sebelum akhirnya menyadari si pemilik kaki. Gilang, si pencipta hati yang gulana itu berada sangat dekat dengannya, membuat hatinya berdesir tanpa kendali.

Gilang memungut tangkai payung itu dan menghampiri A Ai, melindunginya dari rintik. “Ini milikmu?”

A Ai mengangguk tersipu. Ini kali pertama Gilang menegurnya.

“Sepertinya setiap subuh kamu keluar rumah.” Singkat namun cukup membuat A Ai terkesima. Ternyata Gilang selama ini juga sadar dengan kehadirannya.

“Ya, aa … aku anaknya Awie yang punya Depot 36 di ujung jalan itu.” Desahan nafasnya yang tersenggal-senggal pasti terdengar jelas, membuat A Ai menyesal telah sangat berani berbasa-basi dengan Gilang. Biasanya, ia hanya berlalu dari sisi pria itu dengan dagunya yang selalu merunduk menyembunyikan sang pipi yang merona.

“Oh.” Gilang menjawab dingin, namun tetap terdengar merdu di telinga A Ai.

Rasa yang bersemi dalam dadanya sedang memainkan perannya untuk membuatnya merasakan hal-hal yang manis saja.

Namun ia susah mengendalikan bahasa tubuhnya yang digetarkan oleh hati yang sedang membendung cinta. Mendadak ia merasa pakaiannya terlalu kusut dan lusuh, serta tidak layak untuk berada di luar rumah.

Rok lipit-lipit A line selutut yang biasa ia kenakan membuatnya merasa cupu, apalagi kakinya yang laksana tongkat dihiasi oleh rambut-rambut halus yang tipis namun cukup mengganggu bagi seorang gadis.

A Ai menundukkan kepala sembari menyelipkan sebagian rambut di belakang telinga kanan, kemudian menarik-menarik roknya hingga pada batas akhir bisa turun meski tak begitu menolong untuk menutupi lututnya yang berwarna lebih gelap daripada kulit lainnya, kemudian berharap bumi segera saja melahapnya saja agar ia tak perlu berlama-lama dalam kekonyolan.

“Maaf, aku sedang buru-buru.” Berkata dengan nafas tertahan dan bermaksud segera berlalu.

“Tunggu!” Gilang berteriak, tidak seperti biasa, membuat A Ai menghentikan langkahnya sekali lagi. Ia nyaris berhenti bernafas.

“Maaf, boleh aku bertanya satu hal?” Gilang agak ragu menyampaikan maksudnya.

A Ai menutup matanya erat-erat, berusaha menebak-nebak apa yang akan Gilang sampaikan padanya, tanpa berani membalikkan badan. Ia bahkan ingin menutup wajahnya dengan kedua tangan meski mereka tidak saling berhadapan.

“Hmm, apa kamu berjualan makanan Halal?” Gilang bertanya dengan ragu-ragu,terdengar jelas nada di dalamnya, tapi justru membuat hati A Ai mereda guruhnya.

Bergetar wajahnya saat menoleh, dianggukkannya perlahan dengan senyuman yang tertahan, kemudian segera berlalu dari hadapan Gilang sebelum terlihat lebih tak menarik di hadapan sang pujaan hati.

          Pagi hari masih sepi pelanggan di depot milik Awie, A Ai mengelabang rambutnya yang panjang terlebih dahulu sambil melihat cermin di belakang meja berlaci, tempat ia biasa menerima bayaran pelanggan.

Ciri khas orang Tiong Hoa saat membuka warung atau membangun rumah, selalu memperhatikan tata letak ruangan yang dipercaya mampu mendatangkan nasib baik. Cermin biasa di balik meja kasir diharapkan dapat menggandakan keuntungan pada warung makannya.

Cermin cembung yang diletakkan pada depan rumah atau tempat usaha, biasa digunakan untuk menangkal sesuatu yang kurang baik, yang berada di seberangnya, seperti tempat pembuangan sampah umum, dan sebagainya. Sedangkan jika di seberang rumah tinggal atau tempat usaha terdapat bank atau sesuatu yang dinilai baik lainnya, biasa orang Tiong Hoa akan memasang cermin cekung guna menarik rezeki masuk ke dalam rumah.

Ia menatap wajahnya yang telah selesai kelabang dua sambil tersenyum di hadapan cermin tersebut. Seandainya ia punya sedikit saja rasa percaya diri, ingin ia berkata, “Cermin … cermin … siapakah yang paling cantik di muka bumi ini?”

Dan laksana dongeng Putri Salju, si Cermin Ajaib segera menjawab, “Tentu Anda, Tuan putri, tiada yang lebih cantik dari Yang Mulia Tuan Puteri.”

A Ai terkekek sendiri setelah bergulat dalam khayalannya, ia merasa sedikit konyol hanya karena seorang Gilang.

“Yuu kenapa senyum-senyum begitu, hayyaaahh, lagi jatuh cinta ya Yuu? Sama siapa? Aaah ai tau, pasti sama si Aseng yang satu klenteng sama kita itu. Hayyaaahhh, Yu lihat saja dia punya bapak, macam preman kalau bicara, janganlah sama dia. Ai tau dia demen sama Yu, tapi Yu tidak usahlah. Nanti biar ai carikan jodoh yang tepat, Yuu masih 19 tahun belum perawan tua, buru-buru apa, tidak usah cepat-cepat juga tak apa.”

Awie memang seperti itu, kalau berbicara susah berhenti, apalagi jika menyangkut atau menasehati anak perempuan semata wayangnya itu. Awie belum pernah menikah lagi usai ditinggal oleh A Phei.

Mata A Ai melirik ke atas sembari meniup poninya sekaligus menyalurkan nafasnya yang sedang lelah karena Awie selalu menyinggung mengenai Aseng. Pesan yang tiada usai, khawatir putri kecilnya jatuh ke pangkuan pangeran gadungan membuat A Ai jenuh.

“Papa apaan sih. Aseng Aseng … mana mau Ai sama dia, matanya saja mata genit. Lihat paha sedikit saja meleng.” A Ai menggerutu membuat bibirnya lebih mancung dari sang hidung.

“Bagus … bagus kalau Yuu tau. Kalau Yuuu mau, sama anaknya Susuk Ahok tuh, sekarang sudah punya restoran yang besar, anaknya yang kelola. Bagus Yuu jadi nyonya pemilik restoran.”

Belum sempat A Ai membantah, terdengar suara yang familiar di telinganya.

“Permisi… apa depotnya sudah buka?”

A Ai melirik ke arah asal suara, dan benar saja! Gilang!

Secepat kilat ia berbalik badan kembali, berharap si pujaan hati belum sempat melihat wajahnya yang kopong bak kepompong. Seandainya sayapnya sudah seindah kupu-kupu, mungkin ia tak segan melebarkannya di hadapan Gilang.

“Ah Yuu, mari-mari masuk, depot ai buka paling pagi.” Sikap ramahnya selalu diperlihatkan saat bertemu pelanggan.

“Emmm, ai tau Yuu, Yu anaknya pak haji yang rumahnya dekat dengan masjid kan? Yuu tenang saja, masakan ai di sini non babi, kami pun tidak makan babi sudah lebih dari 5 tahun, bukan karena haram, tapi mahal.” Setengah terkekek. Awie biasa berbicara tanpa terkontrol, bermaksud bercanda.

Gilang menelan ludah namun kemudian berusaha menyesuaikan dengan gaya bahasa si pemilik warung yang ramah dengan khasnya sendiri.

“Auww!” Awie mengerang kesakitan karena cubitan kecil yang menyusup tanpa permisi di sela bajunya, tepat mendarat pada pinggang sebelah kanannya.

Teriakan Awie membuat A Ai salah tingkah sambil menatap lirih kepada sang papa, memberi kode agar lebih banyak diam. Gilang menyambut erangan Awie dengan lirikan dan senyumannya pada A Ai.

Kemudian hening, layaknya pemilik warung yang sedang menunggui pelanggannya melahap santapan yang sudah disajikan.

          “Tidak salah Yu suka sama anaknya Pak Ustadz itu? Dia kan berbeda dengan kita sembahyangnya?” Tegor Awie ketika menyadari bahwa anak perempuannya telah jatuh hati kepada pemuda muslim.

“Kalau Papa tidak keberatan, Ai rela membuatnya menjadi sama, tidak berbeda lagi.” A Ai khawatir dengan respon yang akan ditunjukkan oleh papanya sehingga hanya menundukkan kepala setelah berkata.

Tiada keraguan dalam hatinya, bukan hanya sebab Gilang, tapi ia sudah mulai mencintai agama yang mewajibkan para perempuannya menggunakan hijab untuk menutup aurat itu.

Pernah suatu ketika ia sedang melintas di depan masjid, hatinya penasaran untuk mendengarkan lebih lanjut ceramah yang kebetulan sedang membahas mengenai wanita.

“Mengapa wanita muslimah harus mengenakan baju yang tertutup. Saya tanya pada kalian. Akankah kalian tetap memakan permen yang sudah dibuka namun terjatuh di tanah?” Ustadz tersebut bertanya, diiringi jawaban tegas ‘tidak’ dari seluruh jamaahnya.

“Begitulah Islam menilai seorang wanita. Agar selalu bersih dan mulia, Islam memerintahkannya menutup aurat, agar meski jatuh, ia tak akan menjadi kotor. Manusia tak ada yang sempurna, banyak dari wanita masih suka ghibah, ikuti akun gosip di sosmed, tapi sudah menutup aurat dan selalu menjaga agar pria yang bukan muhrim tak pernah melihat auratnya, apalagi menyentuhnya, maka suatu saat tetap akan ada pria yang bersedia menjadi imamnya dan menuntunnya untuk hijrah seutuhnya di jalan Allah. Berbeda jika kamu tidak menutup tubuh lalu terjatuh dan kotor, yang akan menampungmu juga orang-orang yang jorok, dalam artian sama, tidak akan menuntunmu ke arah yang lebih baik.”

Penuturan seorang ustadz yang sempat membuat hati A Ai tergugah. Meski saat itu ia hanya ingin mengintip Gilang keluar dari masjid, tanpa sengaja lantunan kalimat merdu sang ustadz sedikit merasuki jiwanya, membuat getar-getar itu bukan hanya persoal fitur pada sebuah ponsel melainkan juga fitur di dalam tubuh.

          “Hayyaaahhh!” Awie menepok jidatnya sendiri. “Nanti siapa yang sembahyangkan ai kalau sudah mati?”

Pilu mendengar penuturan Awie, namun A Ai sudah memantapkan diri untuk menjadi seorang muslimah.
“Paa, ini kemauan Thian. Pertemuan dan perpisahan adalah sebuah takdir. A Ai tergugah atas ceramah-ceramah mengenai Islam. A Ai jatuh hati dengan kesantunan seorang pemuda muslim.”

Awie mengurut-urut dadanya yang masih terkejut dengan jalan yang akan ditempuh oleh anak semata wayangnya. “Jika ini memang keinginan Thian, ai hanya bisa merestui.”

          Kala itu hujan kembali mengguyur kota, sore hari yang sejuk, menambah syahdu lantunan syahadat yang diucapkan oleh A Ai, mengikuti Ustadz Khalid, seorang pria setengah baya yang bukan hanya menurunkan darahnya pada Gilang, melainkan juga kewibawaannya, dihadiri oleh saksi-saksi yang salah satunya adalah Gilang.

Awie tidak hadir karena masih berpegang teguh atas ajaran agamanya, namun ia telah membuka jalan untuk puteri semata wayangnya itu menentukan pilihan bagi dirinya sendiri.

Dibalik rasa sesalnya telah gagal membangun sebuah rumah yang utuh bagi A Ai, dimana selama kepergian ibunya A Ai telah menjadi atap baginya, membuat Awie hanya memiliki satu hal yang bisa ia berikan pada A Ai, yaitu sebuah dukungan, menjadi tiang agar atap itu tidak ikut roboh.

          Subuh kali ini cerah, tidak nampak akan turun hujan, tetapi semilir angin yang mencuri masuk lewat lengan jaketnya, kemudian bak bermain labirin menari di sela rambut halus yang menutupi kulit, tetap membuatnya merasanya kedinginan. Syukurlah sebelumnya ia sudah berpikir untuk mengenakan jaket, lumayan meredakan tubuhnya yang menggigil.

A Ai mulai melaksanakan sebagian kewajibannya sebagai seorang muslimah, yaitu menutup aurat. Tetapi karena masih belum menukar pakaian lamanya dengan yang baru, ia tidak punya cukup pakaian yang tertutup sehingga memutuskan menggunakan jaket.

Ia berhenti sejenak untuk memasang hoodie melindungi leher dan kepalanya dari terpaan badai.

“Aisyah Cinta Ramadhani.” Seseorang menghampiri A Ai secara tiba-tiba. Gilang.

A Ai tertegun kemudian tersipu.

“Ai untuk Aisyah dan Cinta.” Wajahnya terasa merah dan panas ketika mendengarkan lanjutan kalimat Gilang tersebut.

“Namaku Gilang Ramadhan. Aku ingin namaku juga menjadi bagian dari namamu, meski ini bukan bulan Ramadhan.”

Tak sekelu sebelumnya, entah apa yang membuat nyalinya bertumbuh, sehingga lidahnya lebih lentur untuk menjawab perkataan Gilang. “Jadi judulnya Cinta di Kala Subuh ya?”

Meski selalu diikuti dengan gerakan reflek tangannya untuk segera menutup mulut agar tak terlalu terlihat serampangan di hadapan sang idola.

Gilang tersenyum lebar, tak pernah sebelumnya A Ai melihat garis bibir itu pada wajah Gilang, membuatnya tak sadar terlena akan pesonanya.

“Lebih tepatnya Cinta Ramadhan Lahir di Kala Subuh.” Lekat tatapan mata Gilang kepadanya menyebabkan ia pun susah mengalihkan wajah dari pria itu.

Kedua mata saling beradu, berkomunikasi tanpa kata, tak perlu mensinkronkan lidah dan hati tapi mereka mengerti bahwa ada sesuatu di dalam sana. Sesuatu yang tak perlu sebuah kalimat untuk menghantarkannya, tapi cukup dengan menyebutkan sebuah nama, yaitu ‘Ai’, layaknya sebuah kosakata Bahasa Mandarin yang dikenal umum sebagai ‘Cinta’.

Whuzzz!!! Angin kembali berhembus kencang, menggugurkan dedaunan Bintaro, menambah suasana subuh yang romantis.

You Might Also Like

6 comments

  1. Kalau saya nggak pinter koreksi, lagian ngapain dikoreksi. Mending ambil kisah indahnya saja. Oya, kecuali subhu yang saya kira subuh.

    BalasHapus
  2. Waaaah... bagus nich cerpennya... Catatan kecil saja, ada beberapa yang perlu diedit sesuaikan dengan pedoman umum ejaan BI.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih koreksinya. Saya banyak salah tulis subuh sebagai subhu, barusan saya koreksi. 🙏

      Hapus
  3. baca judul artikel ini saya jadi ingat dengan peribahasa " asmara subuh " . :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehee ... Boleh jadi trending hastag #asmarasubuh menggantikan #kkndidesapenari
      Heheheee ...

      Hapus