-->

Sukses ASI Yang Berawal Dari Kegagalan. Selamat Pekan ASI Sedunia 2019!

Sumber: https://aimi-asi.org/sertifikat-asi
Kegagalan menyusui anak pertama membuatku lebih kokoh berusaha menerapkannya kepada anak kedua.

Sebagai seorang wanita, keinginan terbesarku dahulu adalah melahirkan bayiku secara alamiah, lalu menyusuinya langsung pada payudaraku. Apa daya takdir berkata lain, manusia bisa berencana namun tetap Allah yang memutuskan, aku dinyatakan mengalami kehamilan Placenta Previa total sejak kandunganku berusia 5 bulan, dan dokter terpaksa memberitahuku bahwa kondisi tersebut jika tak mengalami perubahan hingga cukupnya usia kehamilan, maka harus dilahirkan secara caesar. Placenta Previa sendiri adalah suatu kondisi dimana ari-ari bayi menutupi jalan lahir.

Tidak menunggu hingga cukupnya usia kehamilan, dokter melakukan tindakan caesar darurat saat usia kandunganku masih 35 minggu, belum cukup 9 bulan 10 hari, karena aku mengalami pendarahan hingga 3 kali. Mungkin karena lahir pada kehamilan prematur atau alasan lain yang tidak aku ketahui, pada malam hari suster sudah menanyakan mengenai kesediaan akan susu formulanya, hingga Daddy-nya bayiku ketika itu langsung mencarikan susu formula yang dimaksud.

Keesokkan harinya, aku baru bertemu dengan bayiku, itupun agak siang, dan dengan dibantu oleh suster, kami langsung mencoba agar sang bayi mau menyusu pada putingku meski ASInya belum keluar. ASI-ku baru keluar sekitar 4 hingga 5 hari setelah operasi persalinan. Sayangnya gagal, putingku memang tipe yang tidak menonjol keluar, dan karena ketidak-tahuan, kami langsung membuatkannya susu formula pada botol dot, kemudian memberikan saat ia menangis.

Itulah awal mula kegagalanku untuk mengASIhi buah hatiku. ASIku tidak banyak ketika diperah, sementara bayiku tidak mau menghisap langsung pada puting (telanjur bingung puting), akhirnya ia hanya sempat mendapatkan hak ASInya hingga berusia 3 bulan saja, itupun tetap diselang-seling dengan pemberian susu formula karena hasil perahnya yang sangat sedikit, semalaman hanya terkumpul sekitar 10-20 ml.

Kata dokter laktasi yang kami datangi ketika itu, jika bayiku mau menghisap langsung pada puting payudara, maka ASI akan terus berproduksi. Tapi kembali lagi pada keawamanku sebagai ibu baru, ketika bayiku menangis karena lapar dan gemas saat sedang berusaha untuk menghisap puting payudaraku, aku langsung kalang kabut membuatkannya susu formula pada botol dot.

Pesan saya pada 'Ibu Baru' atas pengalaman pertama saya ini, yaitu ada 3 poin yang harus ditekankan dalam diri ibu-ibu sendiri:
1. ASI akan terus berproduksi jika bayi menghisap langsung pada puting payudara ibu.
2. Jika anak lahir dan dibutuhkan tambahan susu formula (atas saran dokter) atau ASIp karena suatu kondisi, gunakan sendok untuk memberikannya, bukan botol dot.
3. Dukungan untuk memberikan ASI tidak selalu datang dari orang-orang sekitar, jadi seorang ibu harus bisa teguh pendirian untuk memutuskan yang terbaik bagi bayi mereka dan tiada yang terbaik bagi seorang bayi selain mendapatkan hak mereka untuk meminum ASI dari ibunya.

Pengalamanku yang pertama menjadi pelajaran yang sangat berharga bagiku ketika pada akhirnya memiliki anak kedua. Keinginan untuk memberikan ASI pada sang adik sangat kuat sehingga tidak peduli dukungan yang tidak kudapatkan dari orang-orang sekitarku.

Mengapa sih aku sangat ingin memberikan bayiku ASI? Karena ASI, khususnya jika bayi menghisap langsung pada puting ibunya, bisa meningkatkan bonding antara ibu dan anak sehingga ikatan batin di antara kami menjadi lebih kuat.

Bayi keduaku lahir pada usia kehamilan yang cukup, namun secara caesar juga. Untuk bayi kedua, aku yang memutuskan ingin melahirkannya secara caesar atas alasan usia yang sudah menjelang 35 tahun dan minus mataku yang sudah bertambah semakin tinggi. Pada saat anak sulungku bayi, minus mataku sudah 4 koma, aku melahirkan adiknya saat sang kakak berusia 4 tahun.

Tidak jauh berbeda pada anak pertama, ASIku pun baru keluar setelah 4 hari aku melahirkannya. Bayiku juga bingung puting karena bentuknya yang tidak menonjol, meski sudah dilakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) di ruang pemulihan. Kebetulan Rumah Sakit pilihanku kali ini sangat pro ASI, dan melarang sama sekali memberikan susu formula pada bayi yang baru lahir di lingkungan rumah sakit tersebut.

Aku berusaha mengajak bayiku untuk menghisap puting payudaraku meski bekas sayatan operasi yang kedua ini menyisakan perih yang sangat susah untuk ditolerir. Bahkan setelah berhasil mendapatkan puting ia melepaskannya kembali dan menangis akibat belum ada ASI yang terproduksi, tapi tetap tak menyurutkan keinginanku untuk membiarkannya berusaha menjadi bayi ASI, begitupun sekeluarnya aku dari Rumah Sakit.

Bukan tanpa cobaan, karena ASIku yang baru keluar pada hari keempat, dan masih sedikit pada awal-awal mengalirnya, bayiku menjadi kuning. Semua orang di sekitarku menganggap bahwa aku adalah seorang ibu yang egois, ngotot tidak mau memberikan susu formula hingga tega mengorbankan anak. Baik suamiku ketika itu, ibu mertua bahkan Mamiku sendiri menyarankanku untuk memberikan susu tambahan kepada bayiku itu, membuatku sempat ragu dan merasa "Apa iya aku egois seperti kata mereka?"

Alhamdulillah aku berhasil menepiskan pikiran itu. Aku berusaha menguatkan diriku sendiri dengan terus berkata: Bukan karena keegoisanku, bayiku pasti baik-baik saja. Aku justru memikirkan haknya untuk mendapatkan apa yang sudah seharusnya!

Pada usia 7 hari, bayiku dirawat di Ruang Perina selama 3 hari. Aku berjaga dan tidur di kursi panjang pada koridor Rumah Sakit tepat di depan Ruang Perina, tempat bayiku dirawat. Karena suster akan memanggilku untuk menyusui bayiku jika ia menangis lapar. Bukan jarang aku menahan kantuk hingga tertidur 'tanpa bentuk' karena terlalu lelah (bersandar pada dinding dengan bibir menganga misalnya, hahahaa...), lalu terbangun terkejut ketika suster meneriakkan, "Bayi Ibu Tang Annisa, waktunya menyusu!"

Tak sia-sia pengorbananku, bayiku sukses menjadi bayi ASI Eksklusif selama 6 bulan, dan masih ASI hingga kini usianya sudah 13 bulan lebih. Ia tak dapat tertidur lelap jika belum mencium bau ibunya, alias  belum menyusu ASI padaku. Semoga terus berlanjut hingga usianya 2 tahun.

Ada kalanya kita mendengarkan nasehat orang-orang sekitar kita, ada kalanya kita harus menutup telinga saat orang-orang sekitar berusaha menyusutkan semangat untuk memberikan ASI. Tak ada ASI yang buruk, tapi saran yang buruk mungkin saja terjadi dari orang-orang terdekat sekalipun. Tak ada ASI yang sedikit karena ASI akan terus berproduksi jika bayi menghisap langsung pada payudara ibunya. Jangan lupa juga akan asupan nutrisi yang bergizi pada seorang Ibu ASI.

Ukur dan timbang secara berkala, berat dan tinggi badan bayi kalian, jika pertumbuhannya masih dalam skala normal (lihat range pada table berat dan tinggi badan anak berdasarkan WHO) berarti nutrisi untuk anak masih cukup, yaitu dengan ASI saja, lalu untuk usia 6 bulan ke atas adalah ASI + mpASI. Jika berat dan tinggi badan bayi di bawah rata-rata, segera konsultasi pada dsa dan ahli gizinya.

Sumber: https://aimi-asi.org/sertifikat-asi
Download sertifikatnya saat lulus ASI Eksklusif agar lebih semangat dalam memberikan ASI.

Jadi buat para ibu, jangan takut untuk mengASIhi. Kunci yang pertama dalam memberikan anak-anak ASI adalah Percaya Diri terlebih dahulu. Jika kamu tidak Percaya Diri untuk memperjuangkan hak bayimu, sudah dipastikan akan gagal selamanya.

#lombamenulisformasibalikpapan #PAS2019XFormASIBpn #wbw2019 #Empowerparentsenablebreastfeeding

You Might Also Like

0 comments