Based on True Story -
- Horror Di Ruko Mpok Nari -
Aku sedang menyusui bayiku ketika pintu kamar mandi terbuka sendiri membuatku tersentak dan bayiku ikut mengalami kejutan kecil dalam tidurnya yang posisinya masih mengempeng pada puting payudaraku.
Kamar mandiku berada di dalam kamar tidur dan tanpa fentilasi udara, hanya saja aku lupa apakah tadi memang kurang rapat menutup pintunya sehingga bisa terbuka sendiri, yang jelas cukup membuat sukmaku setengah melayang.
Apalagi baru saja kemarin suamiku, Bimo, bercerita kalau di Ruko Mpok Nari tempat yang kami sewa selama 5 tahun untuk buka usaha restoran, dimana kalau siang ia berada di sana untuk mengawasi kinerja karyawannya, terdapat kejadian yang aneh, menjurus horror.
Ketika ia setengah tertidur di lantai 2, tempatnya khusus beristirahat, ia mendengar suara seorang perempuan memanggil-manggilnya, membuatnya membuka mata setengah karena masih terasa berat.
Ternyata sosok seorang wanita berambut panjang ekor kuda, bertubuh tinggi besar, berkulit putih, dan menggunakan pakaian selayaknya manusia biasa, bukan seperti kuntilanak-kuntilanak yang digambarkan dalam sebuah film yaitu long dress berwarna putih polos.
Wanita itu berbisik, "Bimo ... Bimo ... Aku Ayik ... Yuk ikut aku ke lantai 3."
Aku bergidik ngeri lagi membayangkannya, apalagi di rumah aku berdua saja dengan bayi perempuanku ini, suamiku masih di ruko, ia memang selalu telat pulang ke rumah. Kadang pukul 3 pagi dia baru pulang dan sekitar jam 9 dia sudah pergi lagi untuk membuka ruko.
Sempat kukatakan padanya dengan nada khawatir yang sangat jelas kutunjukkan, "Jangan-jangan ayah berhalusinasi. Pendapatan restoran kita kan lagi menurun, makanya ayah berpikiran yang tidak-tidak. Jangan sampai tergoda ikut ke atas loh Yah, kalau terjadi apa-apa sama kamu, kami bagaimana?"
Ruko lantai 3 adalah rooftop, tempat kami jemur pakaian dan bertanam buah naga. Dulu sebelum ada rumah, kami semua tinggal di ruko. Setelah anak kami lahir, orang tuaku meminta kami untuk menempati rumahnya yang kosong agar kami bisa fokus membesarkan anak kami dengan baik di sebuah rumah.
"Maksud Ibu, Ayah lompat dari rooftop situ? Bunuh diri?" Ia setengah terkekek mendengar pernyataanku membuatku sedikit tersinggung.
"Amit-amit Yah, nggak usah diperjelas." Tegasku.
PLENTING BRAK!
Aku tersentak kembali, kali ini lebih hebat rasa kaget dari dalam diriku. Bersyukur tubuhku sudah tidak menempel pada bayiku sehingga ia tidak ikut terkejut.
Ternyata botol obat nyamuk yang kuletakkan di atas lemari terjatuh cukup jauh dari tempatnya.
Kok bisa botol yang selalu kutaruh di sana mendadak jatuh kali ini? Bukan hanya jatuh melainkan seperti ada yang melempar! Pikirku kalut. Tak berani sama sekali kusentuh botol obat nyamuk itu pada tempat ia tergeletak setelah jatuh.
Tak lama berselang, kudengar suara tangisan yang rasanya pilu sekali, "Huhuhuuu .. Huhuhuu ..."
Dadaku berdebar tidak karuan. Aku berusaha menutup mataku agar segera terlelap.
"Yakin Ibu mau bawa Alyssa tinggal di ruko? Terdengar nada ragu dari suaranya ketika kukatakan niatku untuk ikut bersamanya ke ruko saat ia datang ke rumah pada sore hari untuk mengambil laptopnya yang tertinggal.
"Iya Yah, Ibu takut di sini berdua saja. Ayah pulangnya lama banget. Padahal kan resto kita sudah tutup jam 11 malam." Aku mengeluh sekalian protes padanya.
"Gimana dong, tiap malam kan Ayah bukukan itu laporan resto, kadang sampai ketiduran. Ibu harusnya maklum, mendukung kegiatan Ayah, sampai Ayah sering nggak sengaja tertidur di depan laptop, bukannya mengeluh begini."
Akhir-akhir ini suamiku memang sering merasa tersinggung dan sinis, tapi aku maklum, mungkin karena kesibukannya dan banyaknya ia memikirkan cara untuk menaikkan omzet resto kembali, sehingga aku diam saja, tidak menanggapi omelannya.
DRITT!!!
Suara pintu berderit, membuatku terloncat sambil mengganduli bahu suamiku, membuatnya ikut terkejut.
"Apa-apaan sih Ibu ini?!" Ia membentakku.
Aku berkaca-kaca mendengar suara kerasnya itu, karena aku sungguh sedang ketakutan.
"Aku ikut ke ruko ya?" Kataku setengah memohon padanya.
Awalnya ia menolak, namun mungkin karena melihatku sangat ketakutan, ia pun setuju untuk membawaku dan Alyssa.
Aku melihatnya sibuk menelpon seseorang sebelum akhirnya membuka pintu mobil agar aku yang sedang menggendong Alyssa bisa segera masuk ke dalamnya.
"Pak, tadi hantu itu keluar resto!"
Kami baru tiba di restoran ketika seorang pegawai suamiku melaporkan apa yang baru saja ia lihat.
Suaranya bergetar, bisa kulihat aura ketakutan dari dalam dirinya.
Ada aura kekhawatiran yang berlebihan juga dari diri suamiku, begitupun denganku yang merasa bahwa akhir-akhir ini memang banyak kejadian aneh.
"Itu pasti hantu yang Ayah ceritakan Bu!" Keringat dingin mengucur dari pelipisnya.
"Ba ... bagaimana rupa hantu itu? Kamu ketemu dimana?" Aku takut, tapi merasa penasaran.
"Tadi aku lagi hitung uang kasir, kebetulan sepi pelanggan, Icha lagi ijin keluar sebentar, sementara Boy pas lagi ke toilet. Dia lewat di depanku sangat cepat Bu. Sebelumnya Bapak kan cerita juga kalau sempat diganggu di lantai 2." Della, kasirku itu bercerita secara 'ngos-ngosan' mengenai kejadian menyeramkan yang baru saja ia alami.
Aduh! Pikirku kalut. Lebih baik tetap tinggal di rumah daripada di ruko yang setannya berani terang-terangan mengganggu manusia yang menetap di sana.
Aku segera mengiyakan ketika suamiku berkata, "Lebih aman Ibu di rumah saja."
Angin berhembus masuk lewat celah jendela ketika aku sedang mengayun anakku untuk tidur siang. Kebetulan ia agak gelisah kali ini. Setelah menyusui tidak langsung terlelap, tetapi sedikit rewel, sehingga aku berusaha memijat lembut dan menggosok tubuhnya dengan minyak kayu putih terlebih dahulu sebelum mengayunkannya.
Cukup membuatku terkesima karena aku tidak pernah membuka jendela di ruang keluarga karena khawatir nyamuk-nyamuk nakal masuk dan menyakiti bayiku.
Kuberanikan diri untuk menutup jendela tersebut, namun bulu kudukku mendadak berdiri ketika menyadari bahwa pintu kamar pun tertutup dan terbuka berulang kali seolah mempermainkan pandanganku.
Segala doa kubaca termasuk ayat kursi, apapun yang kuhafal, agar aku tidak diganggunya.
Apalagi di twitter sedang heboh kisah horror nyata berjudul 'KKN Di Desa Penari', dan aku sempat membacanya tiga perempat pada versi Widya, namun kuputuskan tidak melanjutkan membacanya karena merasa ketakutan sendiri. Padahal cukup penasaran akan kelanjutan kisahnya, ditambah kisah dari sudut pandang Nur yang belum kubaca.
Aku memang penyuka cerita horror, itu juga yang membuat suamiku sering meledekku 'halu' karena menurutnya aku suka terbawa kisah horor yang kubaca.
Sangat menguji nyaliku berada di rumah seorang diri dewasa yang harus melindungi bayiku. Kuberanikan diri untuk mengambil kunci kamarku yang kuletakkan di atas lemari buku lalu perlahan menutup rapat pintu kamar dan menguncinya.
Kugendong bayiku yang sudah setengah tertidur dengan jarik yang tergeletak di sofa, tanpa peduli daster batik lusuh yang tengah kugunakan, lalu memesan gocar untuk menyusul suamiku ke ruko. Paling tidak di ruko banyak teman jika diganggu oleh penunggu ghaibnya, pikirku.
"Eh Ibu." Sapa Della ketika melihatku datang.
"Tumben Ibu ke sini nggak sama Bapak?" Tanyanya tampak sedikit heran.
Aku tersenyum kecil saja, tidak mungkin juga kuceritakan padanya mengenai ketakutanku ini.
"Bapak dimana Del?" Tanyaku balik, mengalihkan pertanyaannya barusan.
"Bapak di atas Bu, mungkin lagi istirahat. Tadi pagi lumayan ramai di sini, Bapak ikut melayani pelanggan." Sahut Della.
"Ya sudah, saya ke atas dulu." Pamitku diiringi oleh anggukkan kepala Della.
Aku memperbaiki gendongan bayiku sebelum mulai melangkah naik tangga, namun betapa terkejutnya aku ketika baru melangkah sekitar 3 anak tangga, suara seorang perempuan mengikik seperti memecah gendang telinga. Melengking dan sangat jelas terdengar di telingaku, membuat kakiku mendadak ragu untuk melanjutkan langkahku dan tubuhku langsung terasa dingin.
Jika tak memikirkan suamiku yang sendirian di atas dan ada kemungkinan juga digoda olehnya untuk lompat bunuh diri dari rooftop, aku mungkin mengurungkan niatku untuk naik. Namun aku bersikeras mengumpulkan nyaliku untuk tetap melangkah.
Baru 5 langkah lagi kulalui, sekelebat bayangan melintas tepat di ambang batas pandanganku, rambut panjang dan daster putih yang sempat kulihat melambai ketika dengan cepat ia melintas.
Hantu itu pikirku! Ya Allah, apa yang harus kulakukan?
Rasanya kakiku berat sekali, sampai-sampai tak bisa kuangkat untuk tetap melangkah.
Aku berlutut di ujung anak tangga ke sembilan, berusaha menenangkan diriku terlebih dahulu dengan menarik nafas panjang sembari berdoa tak henti berharap bayiku tidak mengalami hal yang buruk, seperti sawan misalnya, kepercayaan orang dulu.
BRAK!
Kudengar pintu kamar suamiku tertutup. Setan itu sudah masuk ke dalam kamar, pikirku!
Di dalam kamar juga ada sebuah jendela tanpa teralis. Bisa-bisa suamiku melompat dari sana, bunuh diri karena tak sanggup menahan beban hidup. Pergolakan batin yang membuat nyaliku kembali berkembang.
Aku mempercepat langkah untuk sampai ke tujuan. Tak sampai 5 menit aku pun sudah sampai di muka pintu kamar.
Tanganku bergetar hebat saat berusaha meraih gagang pintu sehingga membuatku kembali mencoba menarik nafas panjang terlebih dahulu dan menghembuskannya secara perlahan agar rasa gugupku netral lagi.
Kukerahkan tenaga untuk membuka pintu yang sesungguhnya tidak terkunci itu dengan mata terpejam, membuat tubuhku justru ikut tertarik daun pintu yang ringan tersebut, terbanting pada dinding di belakangnya. Bersyukur Alyssa berada di dada sebelah kiriku, dengan lenganku yang mendekap eratnya.
Suara lengkingan hantu wanita itu kembali terdengar membuatku semakin gugup ketika perlahan mataku mulai terbuka. Dan betapa terkejutnya aku melihat sosok itu.
Wanita berkulit putih tanpa busana, berambut panjang tergerai, sedang duduk di atas tubuh suamiku.
Bukan hantu, hanya saja setan berwujud manusia!
Aku kembali menutup pintu kamar dengan derai air mata, pergi bersama bayiku meninggalkan drama menyedihkan yang baru saja tersaji di hadapanku.
"Loh Ibu kok cepat pulang?" Della menyapaku ramah. Dia memang karyawan yang paling lama bekerja bersama kami.
Aku menghapus air mataku sebelum menjawab pertanyaannya. "Tempat ini terlalu horror bagiku."
"Betul Bu, waktu itu saya kan sudah cerita juga sama ibu, itu loh Bu, sering ada tiba-tiba sosok hantu perempuan lewat buat keluar restoran padahal saya tidak pernah tahu ada tamu yang masuk waktu itu. Serem banget deh." Della cerita tanpa henti dengan lugunya, terlihat sedang bergidik ngeri sendiri.
Kelihatannya dia masih akan bercerita ketika aku meninggalkannya, membiarkannya dengan kebingungannya mengenai apa yang sesungguhnya sedang terjadi.
Bimo mengejarku dengan kemeja yang belum terkancing rapi, ikat pinggang yang belum terikat dengan benar. Berusaha meraih tanganku, namun secepat kilat kutepiskan.
Mpok Nari yang baru saja keluar dari ruko sebelah mengantarkan calon penyewa melihat-lihat kondisi dalam ruko kosong tersebut menghampiri kami untuk bertanya apa yang sesungguhnya sudah terjadi.
Aku menjawab asal. "Hantunya Bima dan Ayu, cerita KKN Di Desa Penari itu ada di sini! Ini ruko horror!"
Mpok Nari salah tingkah di hadapan para calon penyewa, membuatku segera meralat kalimatku barusan. "Ayik dan Bimo di dalam, maksudku. Bukan hantu, hanya setan!"
Tetap saja dengan nada kegeraman yang sulit untuk kukendalikan. Kali ini Bimo yang salah tingkah.
Aku pun mengatakan yang sesungguhnya pada Mpok Nari kalau suamiku selama ini mengarang cerita hantu di rukonya agar aku tak berkunjung ke sana, dan sebagai alibi juga jika ada yang melihat perempuan di sana beranggapan bahwa ia telah melihat hantu. Yang sebenarnya adalah suamiku telah memelihara 'gendak' di sana dan melakukan zina.
"Awas dikutuk rukonya Mpok Nari!" Aku melirik sinis pada suamiku yang tertunduk lesu dan wanita pelacurnya itu ketika kami dikumpulkan oleh Mpok Nari di rukonya untuk menjelaskan apa yang telah terjadi.
Mpok Nari mendelikkan matanya yang besar itu pada Bimo dan si perempuan bernama Ayik itu. "Aku tidak mau tempatku jadi tempat mesum! Kita putus saja kontrak sewanya!"
Aku merasa lega karenanya. Tetapi tak berhenti sampai di sini. Karena ia sudah menyajikan kisah seram yang susah kulupakan, bahkan bisa seumur hidup tak akan kulupakan, aku pun berniat memberikan mimpi buruk baginya.
Besok aku akan pergi ke pengadilan agama guna mengajukan gugatan cerai. Rumah yang aku dan bayiku tinggali adalah rumah pemberian orang tuaku juga, jadi tentunya bukanlah aku yang harus keluar dari rumah, sedangkan kalau hanya untuk makan, aku yakin pada janji Allah untuk tidak mengkhawatirkan rezeki esok hari.
Tak ada bagiku yang se-horror berada bersama pengkhianat. Kalau berbohong dan tidak setia saja bisa dihalalkannya, apalagi untuk hal-hal lain. Lagipula, ternyata suara orang yang kudengar mirip suara tangisan tersedu-sedu itu adalah suara burung beo milik tetangga rumahku.
Yang menjadi misteri hanyalah hal-hal aneh yang kualami di rumah seperti pintu yang terbuka dan tertutup sendiri, barang-barang yang mendadak jatuh sendiri, jendela yang tiba-tiba terbuka, dan sebagainya.
Tetapi sejak kejadian Horror Di Ruko Mpok Nari itu, tak ada hal-hal aneh lagi yang kualami di rumah.
Mungkin saja semua hal yang kualami tersebut adalah cara Allah menunjukkan kebenaran padaku. Karena harus diyakini bahwa Allah selalu ada cara untuk menunjukkan kenyataan pada umatNya yang didzalimi, sepandai apapun manusia berkelit dari kesalahannya.
Atau, bisa juga karena tiada yang lebih horror dari yang ter-horror sehingga aku tak pernah berhalusinasi soal hantu lagi di dalam rumah.