-->

Cerita Pendek - Mengikuti Kata Hati


        Tak ada penjelasan bagi setiap orang tentang apa yang sebuah hati inginkan, karena ia bekerja sendiri, dan aku tak mungkin merusak kebahagiaannya.

Rabu, 01 Januari 2020
        Aku membelai kucing kesayanganku, bulunya yang lebat selalu berhasil membuat hatiku tenang.
        Si Putih Dome ini terus-menerus membuatku bangga atas prestasinya setiap tampil di Cat Award Stage. Ia memiliki ekor yang panjang sempurna, dan aku sangat menikmati ketika telapak kakiku menggesek pada ekornya yang kadang melengkung itu, meski tak sadar aku menginjak ujung ekornya dan membuat kucing manis ini mengerang kesakitan.
        Pintu kamarku diketuk ketika aku sedang asyik memeluk erat si putih di atas kasur, membuatku terpaksa menghentikan kegembiraanku sekejap.
        “Ci luk baa, Kakak.” Seorang bocah perempuan menggodaku dari balik pintu ketika aku membukanya. Dan kuperlihatkan senyumanku kepadanya.
        “Odi di dalam ya Kak?” Tanyanya dengan polos.
        Wajahnya sangat manis, dia adalah tetangga yang tinggal di sebelah rumahku dan sering sekali bermain dengan Odi, adikku.
        Aku meliriknya sambil menggeleng.
        “Ya sudah, Ririn cari di tempat lain ya Kak. Ririn pikir dia sembunyi di kamar Kakak.” Katanya lagi sambil berlalu dari hadapanku, tanpa mengucapkan maaf atau terima kasih setelah mengganggu ketenanganku.
        Si Putih sudah tertidur di kasurku saat aku menutup pintu kamar dan kembali untuk bermain bersamanya. Membuatku kesal saja. Aku mengangkat tubuh gembulnya dan melemparkannya. Kamarku yang kecil membuatnya langsung mendarat di dinding dan terbaring di bawah jendela kamarku yang sedang terbuka lebar.
        Angin sepoi-sepoi sore hari masuk melalui jendela itu, mengibarkan dua layer horden berwarna tosca di dalam kamarku, sejuk dan indah rasanya jika tanpa Putih yang berada di antaranya.
        Suara erangan Putih menggangguku, dan dia juga seperti sudah tak berdaya untuk bermain, wajahnya dengan mata dan bibir terbuka sedikit serta memperlihatkan setengah taringnya sangat merusak pandanganku.
        Aku pun menarik nafas dalam-dalam dan menghampirinya, membelai bulunya yang lembut, mendekapnya untuk yang terakhir kali sebelum akhirnya aku melemparkannya keluar jendela kamar. Lega rasanya.
        Moment berharga yang tak mungkin aku lewatkan untuk dicatat dalam Award Book milikku, dimana sampul buku itu juga merupakan lukisanku sendiri, seorang pria yang berwajah rata.

Kamis, 02 Januari 2020
        Setiap hari aku berangkat sekolah bersama Odi, kami jalan kaki berdua menyusuri gang dan tepian jalan besar, hanya selang 5 menit sudah tiba ke sekolahnya, sementara sekolahku masih sekitar 10 menit waktu tempuh perjalanan lagi.
        Tapi tak menjadi masalah buatku. Selain usiaku yang sudah 15 tahun dan duduk di kelas 1 SMA, banyak hal menyenangkan yang aku temui sepanjang jalan menuju ke sekolah, pikirku sambil melirik ke tanganku yang sedang memegang garpu dengan seekor katak menancap di sana.
        Sekolah bukan hal yang menyenangkan buat aku, karena di sana terlalu banyak orang yang harus aku temui, dan aku juga harus selalu tersenyum meski sedang tidak ingin.
        Namun bukan berarti tak ada hiburan di sana.
Tawaku lepas di dalam hati, meski bibir hanya menunjukkan sebuah lengkungan tertahan, ketika menyaksikan Ratna, seorang kawanku mencari dompetnya yang raib dari dalam tasnya.
        Hal tersebut membuat kami semua digeledah, tapi nihil, tak ditemukan sama sekali karena memang tidak ada pada salah satu dari kami yang ada di kelas. Dompet itu sedang mengambang di kolam ikan yang tak terawat di belakang sekolah kami. Tadi pagi aku membuangnya.
        Tak terasa sudah hari kamis, cukup banyak penghargaan yang harus diberikan padaku karena telah melakukan hal-hal hebat. Semoga nanti malam aku tak terbangun seperti zombie.
        Tidur yang nyenyak Siska! Teriakku untuk diriku sendiri di dalam hati.

Jumat, 03 Januari 2020
        Aku pulang ke rumah dalam keadaan letih, tapi bersyukur karena sudah hari Jumat sehingga aku bisa dengan leluasa melukis di Award Book milikku selama akhir pekan.
        Rumah dalam keadaan sepi seperti biasa. Ibu pasti langsung pergi jualan kue keliling kampung sambil membawa Odi.
        Kami tidak memiliki kendaraan sehingga Odi yang jam pulang sekolahnya lebih cepat daripadaku, selalu dijemput ibu dengan wadah jualannya sehingga terpaksa ikut berkeliling juga sampai dagangan habis.
        Jangan tanya kemana ayahku. Dia sudah lama minggat dari rumah bersama perempuan barunya saat itu perempuan mengaku hamil.
        Aku mencoret tulisan ‘killing cat’, ‘killing frog’, dan ‘remove the wallet’ yang ada di papan tulis dalam kamarku, kemudian memberi keterangan ‘DONE’ di samping masing-masing barisan tulisan tersebut. Tapi masih ada satu hal yang belum aku lakukan, sehingga aku belum mencoretnya.
        Satu persatu pakaian di tubuhku aku lucuti, aku butuh segera mandi karena cuaca siang yang begitu gerahnya.
        Hanya berbekal lilitan handuk di tubuhku untuk pergi keluar menuju kamar mandi jika aku tak ingat akan Reward Book yang belum aku selesaikan.
        Aku memang tak terbiasa menunda pekerjaan yang belum selesai, tetapi tadi pagi aku harus pergi ke sekolah sehingga terpaksa tidak meneruskannya. Apalagi ibu sudah berteriak keras dari luar kamar, mengingatkan untuk tidak terlambat sampai ke sekolah.
        Sketsa yang aku buat sangat menarik dan persis aslinya, karena aku memang sangat berbakat dalam bidang seni. Sayang ibu tidak pernah melihatnya. Jika ibu tahu, pasti ia akan menyuruhku berhenti sekolah dan mengembangkan bakatku di bidang melukis.
        Ibu hampir tak pernah masuk ke dalam kamarku. Jika malam hari tiba, ia sibuk mengadon kue untuk dijual besok. Biasanya Odi juga tak pernah mengusikku karena dia lebih sering main ke rumah tetanggaku yang seusia dengannya.
        Aku tersentak saat sedang konsentrasi meneruskan lukisanku, pintu kamarku diketuk oleh seseorang, membuatku harus menarik nafas panjang-panjang ketika melihat goresan penaku yang salah arah di atas kertas.
        “Kak, Odi ada?” Lagi-lagi si gadis manis sebelah rumah yang selalu menguntit adik bungsuku itu yang ada di balik pintu. Pasti tadi aku lupa mengunci pintu rumah.
        Aku tersenyum padanya. “Kenapa? Kamu kesepian?”
        Ririn, gadis itu, mengangguk. “Kan mama sibuk, cuci baju terus.”
        Kebetulan ibunya Ririn menerima cuci dan gosok baju di rumahnya.
        “Ya sudah, main sama Kakak saja yuk.” Aku membujuk gadis itu masuk ke dalam kamar terlebih dahulu.
        Matanya berbinar, dia terlihat sangat bersuka-cita. “Odi nggak ada ya Kak? Ya sudah, temani Ririn main ya?”
        Aku mengangguk. “Kebetulan Kakak punya mainan baru, pancing-pancingan, main bareng yuk! Kakak juga pas mau mandi nih.”
        “Asyik!” Dia berteriak kegirangan.
        Kami bergandengan tangan menuju kamar mandi, sementara tangan kanannya memegang mainan ‘pancing ikan’ milik Odi, yang baru saja ibu belikan kemarin sore dan aku pinjam tanpa sepengetahuan siapapun, ketika Odi sudah terlelap di malam hari.
        Sesampainya di kamar mandi, aku pun mengguyur tubuhku dengan air, sementara Ririn juga tak berbusana agar bajunya tidak basah terkena percikan air dariku. Karena ia memancing ikan-ikanan di bak mandi sembari menemaniku mandi menghilangkan gerah.
        “Untung Kakak sudah kelar mandi, Ririn juga sudah bosan nih, mau pulang.” Ririn mengambil satu-persatu ikan plastik yang ada di dalam bak mandi sementara aku melilitkan handuk kembali di tubuhku seusai mengeringkannya.
        Tak ingin melewatkan moment berharga, aku segera mendorong tubuhnya ke arah bak dan mencelupkan kepalanya ke dalam air. Tidak berulang kali, hanya sekali saja aku mencelupkannya, tapi tidak aku keluarkan sampai ia berhenti meronta.
       Aku pun mengelap tubuhnya yang basah menggunakan handukku, memakaikan bajunya kembali dan menyumpal mulutnya dengan kaos dalamnya sendiri.
        Gadis itu sangat manis, sayang bernasib buruk, pikirku. Ia tak seharusnya bertemu denganku, tetapi takdir sudah menentukan bahwa ini sudah jalannya, jadi tak ada yang perlu disesalkan.
        Hatiku merasa tenang sekali setelah melakukan itu, ada perasaan lega yang susah untuk aku ungkapkan.
        Apalagi gadis itu kini berada di dalam lemari bajuku, dan aku yakin hingga esok hari pun, tak ada yang dapat menemukannya.
        Lalu aku mencoret list terakhir yang ada pada papan tulisku, ‘kidnap and kill the child’ serta menuliskan ‘DONE’ di sampingnya.

Tamat

Note: Kisah ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh dan peristiwa, hanyalah suatu kebetulan semata.

You Might Also Like

0 comments