-->

Ketika Freelancer Mengelola Keuangan

LifeStyle
Annisa Tang. Lifestyle Ilustration.
Sumber Foto: Koleksi Pribadi

            Keuangan memang tak dapat dipisahkan dari kehidupan setiap manusia, dimana sejak jaman dahulu kala, uang sudah menjadi nilai tukar utama setelah sistem barter tak berlaku lagi. Bahkan uang kini sudah bukan semata-mata sebagai alat untuk bertahan hidup saja, melainkan juga untuk gaya hidup.

            Misalnya saja perkembangan teknologi yang sangat cepat. Dulu pada masanya, tahun 2008, aku membeli Handphone Nokia 73 seharga Rp.3.200.000,-. Kemudian pada tahun 2010, aku menggantinya dengan Blackberry Onyx 2 yang seharga 4 Jutaan, kemudian karena merasa perangkat itu sudah tak mumpuni di jaman setelahnya, pada tahun 2012, aku menggantinya dengan Samsung Galaxy SIII Note seharga 6 Jutaan. Bahkan pada tahun 2013, aku melengkapi perangkatku dengan Ipad 4 seharga 13 Juta Rupiah.

            Padahal kalau menelisik dari fungsi utama semua perangkat itu adalah sama, yaitu untuk menelpon dan mengirim pesan singkat. Namun kemudian kebutuhan manusia yang lainnya membuat mereka terus berusaha meng-upgrade perangkat yang mereka gunakan.

            Misalnya saja dulu waktu aku memutuskan membeli N73, aku tertarik dengan kameranya yang bisa dibuka tutup, dan saat itu kualitas pengambilan gambarnya sudah cukup baik. Namun kemudian, aku butuh perangkat yang memudahkanku dan teman-teman saling berkirim gambar, foto, dan sebagainya sehingga aku membeli BB Onyx 2, dimana dengan 1 nomor pin saja, sudah bisa berteman dengan siapapun.

            Lalu pada akhirnya Blackberry pun sudah sangat ketinggalan, maka aku menggantinya dengan Android, dan Samsung Galaxy SIII Note menjadi Smart Phone pertamaku. Dimana dalam satu perangkat saja, sudah banyak yang bisa aku lakukan. Kebetulan aku suka menulis catatan juga, jadi Handphone sudah seperti diary book bagiku.

            Untuk memenuhi kebutuhan premier dan gaya hidup, setiap manusia membutuhkan cuan. Tapi bukan berarti cuan tak dapat habis dan selalu tersedia untuk kita jika kita tak pandai dalam mengelola keuangan.

            Aku seseorang yang pernah mengalami pasang suruh kehidupan ekonomi ketika aku masih remaja. Pada tahun 1998, aku masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Pertama, perusahaan papa terkena imbas krisis moneter, sehingga gulung tikar. Saat itu di beberapa daerah di Indonesia sedang terjadi demo besar-besaran untuk melengserkan pemerintahan yang sedang menjabat saat itu, yang tentunya mempengaruhi ekonomi negara juga.

            Bukan hanya perusahaan milik papa, banyak perusahaan lain yang juga terkena imbas dari krisis moneter tersebut. Peristiwa yang tak mungkin dapat kami lupakan. Dari yang awalnya serba berkecukupan, mendadak tak memiliki hal apapun.

            Sebagai remaja, kondisi jiwaku agak labil saat itu. Aku mengalami krisis Percaya Diri parah, dan tak punya teman sama sekali. Ketidak-percayaan diriku, membuat aku menjadi korban bully oleh beberapa kawan yang merasa jagoan di sekolah.

            Jangankan naik, prestasiku justru sangat anjlok. Aku sampai berpikir kalau aku tidak mau bertemu dengan teman-teman yang ini lagi. Aku mau sekolah di sekolah yang tidak ada mereka semua. Kalau diijinkan, aku memilih untuk melarikan diri keluar kota saja.

            Tapi tidak mungkin anak perempuan satu-satunya sepertiku diijinkan berangkat keluar kota seorang diri di usia yang masih sangat belia, jadi masa-masa aku lulus SMA adalah masa yang sangat dinanti, agar aku bisa melarikan diri keluar kota dengan alasan kuliah.

            Awalnya aku memilih Bandung sebagai daerah tujuanku. Alasannya adalah aku suka dengan udara di sana yang sejuk, dan di sana aku tak akan bertemu dengan siapapun yang aku kenal dekat. Sayangnya tak diijinkan karena tak ada satupun keluargaku di Bandung. Padahal justru itu yang aku inginkan, hehehe.

            Akhirnya aku mengikuti kemauan orang tuaku saja untuk mengirimku ke Nusa Dua - Bali, jurusan perkuliahan pun mereka yang tentukan. Bahkan tadinya aku mau dimasukkan ke perhotelan, tapi aku menolak dan memilih pariwisata saja.

            Kebetulan di Bali ada tanteku dan keluarganya yang dapat menjengukku sewaktu-waktu. Walau rumah tempat tinggalnya dan tempat aku kos, membutuhkan waktu sekitar 2 jam waktu tempuh kendaraan. Tapi paling tidak setiap hari minggu mereka bisa datang.

            Aku membangun image baru di rantau, sebagai Annisa yang memang sudah begini kondisinya, apa adanya. Bukan sebagai Annisa yang mendadak 'jatuh' dari ketinggian dan terpuruk.

            Pulang pergi kampus jalan kaki saja dari kos, tapi alhamdulillah kawan-kawan di sana pada baik-baik, nggak ada yang pernah ijinkan aku jalan kaki sendirian, selalu dapat tebengan buat sampai ke kampus. Kecuali aku sedang jalan kaki bertiga dengan kawan-kawanku, karena nggak mungkin kan bonceng 4 naik sepeda motor. Hehehe. Kecuali kebetulan ada teman yang bawa mobil, mereka juga kadang menawarkan kami.

            Sangking nyamannya dengan kehidupanku di sana, aku sempat menolak ketika dipanggil pulang ke Balikpapan. Tapi aku terpaksa pulang karena orang tua menolak mengirimkan uang bulanan lagi sementara aku belum diterima bekerja.

            Aku bekerja di kampung halaman, mengumpulkan uang sendiri untuk pergi kembali ke Bali buat wisuda bersama keluargaku, membawa kedua orang tua dan adikku untuk mendampingiku di sana.

            Setelah pulang wisuda, aku mencari pekerjaan kembali dan alhamdulillah selang 2 bulan kepulanganku ke Balikpapan, aku dapat kerja kembali. Dan disitulah aku mulai kalap, berhubung sudah ada gaji sendiri yang bisa dinikmati, tunjangan-tunjangannya, bonus-bonusnya, jadi mulai memenuhi kebutuhan akan gaya hidup.

            Sebenarnya bukan full untuk gaya-gayaan, melainkan untuk memenuhi kebutuhanku akan kapasitas gadget yang semakin meningkat saja. Ngeles! Hahaha ...

            Tapi benar kok, aku kan generasi digital banget, menulis lewat gadget dan bersosial melalui gadget, bahkan untuk mengabadikan gambar pun pakai gadget jadi perangkat yang mumpuni untuk itu penting banget buat aku.

            Hanya saja kadang lupa untuk berinvestasi. Apalagi dulu aku pengguna kartu kredit juga, jadi seperti gali lubang dan tutup lubang gitu, menjadi individu yang konsumtif, bukannya produktif.

            Penghasilanku ya hanya didapatkan melalui perusahaan tempatku bekerja dan kemudian untuk aku gunakan sampai habis.

            Setelah menikah, lalu tidak bekerja, aku bergantung hidup pada suamiku saja. Kami sama-sama bukan orang yang pandai berinvestasi. Penghasilan kami selama buka usaha pun habis begitu-begitu saja

            Kalau saat masih bekerja di perusahaan dulu, jika uang bulan ini habis, masih ada gaji berikutnya, bahkan menjelang hari raya tak begitu khawatir karena masih ada Tunjangan Hari Raya alias THR yang akan dibayarkan oleh perusahaan.

            Berbeda dengan para pengusaha, dimana setiap akhir dan awal bulan justru berpusing-pusing ria. Begitupun saat menjelang hari raya karena di saat para karyawan dan karyawati menerima uang yang menjadi haknya itu, justru para pengusaha berkewajiban mengeluarkan uang untuk membayar gaji dan tunjangan yang menjadi hak mereka.

            Setelah menjadi Single Mom, kini aku mulai berinvestasi mandiri, karena tiada lagi tempat bergantung. Alhamdulillah untuk tempat tinggal dan makan, masih ada kedua orang tua yang bisa menampung kami.

            Ayah kandung anak-anak juga masih bertanggung jawab sedikit untuk pembayaran uang sekolah anak sulungku setiap bulan dan lumayan rajin membawakan diapers dan susu untuk anak-anak. Tapi untuk diriku sendiri dan masa depan kami bagaimana?

            Karena tiada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Seperti dahulu juga aku tak tahu kalau bakal berpisah dengan suamiku. Jadi kini aku harus melakukan sesuatu untuk menjamin masa depan anak-anakku, sehingga aku harus tahu cara mengelola keuanganku yang sekarang bisa dibilang pas-pasan ini.

            Sebenarnya pada prinsipnya sih, dalam mengelola keuangan itu jangan sampai besar pasak daripada tiang. Oleh karenanya perlu perencanaan keuangan di awal.

            Yang pertama harus disusun adalah list kebutuhan rumah tangga. Kalau yang berpenghasilan tetap setiap bulannya justru lebih mudah, karena kalian bisa langsung merencanakan secara keseluruhan, berapa persen dari penghasilan kalian yang akan dibelanjakan untuk kebutuhan dapur, lalu kebutuhan operasional rumah tangga seperti listrik dan air, dan sebagainya.

            Berbeda dengan orang yang berpenghasilan tak tetap sepertiku. Bulan ini bisa menerima cuan yang nominalnya banyak, sementara bulan depan bisa sedikit, ataupun sebaliknya. Dan itu tidak menerima langsung sekaligus.

            Jadi bertahap sesuai job yang didapatkan. Maka dari itu, untuk membelanjakannya juga bertahap.

            Jangan lupa membuat list kebutuhan mulai dari yang primer, lalu sekunder, dan tersier. Kemudian setiap kebutuhan tersebut, urutkanlah sesuai prioritasnya juga.

            Belanjakanlah uang sesuai kebutuhan primer yang prioritas terlebih dahulu, tapi selalu sisihkan uang itu untuk kebutuhan darurat ketika uang berikutnya belum masuk ke dalam rekening. Begitupun seterusnya. Pada akhir bulan, ketika jangan lupa tetap siapkan dana darurat, dan sisihkan juga untuk berinvestasi jika memungkinkan. Atau jika tak terpakai, dana darurat bisa masuk ke dalam investasi untuk kebutuhan ke depannya.

            Yang penting, jangan sampai dana darurat tak dipersiapkan, karena dana tersebut kalau sedang butuh bisa terpakai, sementara jika belum butuh, maka dapat dimasukkan sebagai dana investasi untuk masa depan.

            Dan menjelang lebaran, dana darurat dapat kita gunakan untuk persiapan menyambut hari raya.


You Might Also Like

0 comments